Senin, 30 Juni 2025

Dengarkan Suara Sekitarku

Judul: "Dengarkan Suara Sekitarku"



Pagi itu, aku duduk di teras rumah. Secangkir teh hangat masih mengepul di tanganku. Udara belum terlalu panas, dan langit menggantungkan awan tipis seolah belum sepenuhnya terjaga.

Lalu aku memutuskan... untuk diam.

Tidak memegang ponsel. Tidak membuka TV. Tidak menyibukkan diri. Hanya diam... dan mendengarkan.

Pertama, yang terdengar adalah suara ayam berkokok dari kejauhan. Suara khas kampung yang bagiku selalu membawa kenangan masa kecil, bermain di halaman, dan ibu yang sibuk di dapur.

Tak lama, terdengar suara sapu lidi bergesek di halaman rumah tetangga. Seret... seret... Pelan, tapi ritmis. Aku membayangkan seorang ibu menyapu dedaunan sambil menahan kantuk, mungkin sedang memikirkan daftar belanja hari ini. Aku jadi ingat ibuku sendiri. Dan mendadak hatiku terasa hangat.

Lalu, suara motor melintas di jalan depan rumah. Bising, kasar, tapi cepat hilang. Seperti kehidupan kadang datang mengganggu, tapi sebentar kemudian berlalu. Aku menatap jalan itu, dan entah kenapa, aku mulai berpikir: sudah sejauh apa aku melangkah dalam hidup ini?

Tiba-tiba, suara tawa anak-anak terdengar dari gang sebelah. Riuh, polos, dan penuh kehidupan. Mereka mungkin sedang bermain kejar-kejaran. Aku tersenyum kecil. Ada rasa rindu yang aneh... pada masa ketika hidup tak serumit sekarang, ketika bahagia bisa sesederhana menemukan batu berbentuk aneh atau permen seribu.

Di sela semua itu, angin berbisik lewat dedaunan mangga di depan rumah. Suaranya lembut, nyaris tak terdengar, tapi ada. Ia mengingatkanku bahwa dalam diam pun, dunia tetap bernyanyi.

Dan yang paling pelan, yang hanya bisa kudengar saat benar-benar hening, adalah detak jantungku sendiri. Tanda bahwa aku hidup. Bahwa aku masih di sini. Dalam segala keributan dan keheningan, aku masih punya waktu... untuk mendengar, untuk merasa, untuk menjadi manusia.

Aku menghela napas panjang. Hati terasa ringan. Ternyata, saat aku mau berhenti sejenak dan mendengar, dunia ini penuh cerita. Dan suara-suara itu... bukan hanya bunyi. Mereka adalah pengingat bahwa aku tidak sendiri.

Aku masih duduk di tempat yang sama. Tapi matahari sudah sedikit lebih tinggi. Suara burung pipit kini terdengar lebih jelas. Mereka berkicau di atas genteng, saling sahut seolah sedang berdiskusi tentang hari ini. Suara mereka tidak nyaring, tapi cukup membuatku merasa... ditemani.

Lalu, suara penjual sayur lewat di depan rumah. “Sayuuur... sayuuur... tomat, cabe, bawang...!” suaranya lantang, serak tapi bersahabat. Aku mendengar roda gerobaknya berderit pelan di atas jalan aspal. Ada aroma khas pagi hari yang ikut terbawa angin campuran sayur segar, asap dapur, dan sedikit debu kota.

Aku tak membeli apa-apa. Tapi entah kenapa, suara itu membuatku merasa aman. Mungkin karena itu pertanda bahwa hidup tetap berjalan. Bahwa hari ini, seperti kemarin, akan diisi dengan rutinitas yang tak selalu indah, tapi nyata.

Tiba-tiba, terdengar teriakan kecil dari rumah sebelah. Anak kecil menangis, mungkin karena terjatuh atau dimarahi ibunya. Suara ibunya menyusul, pelan tapi tegas, “Sudah, jangan nangis. Ayo, berdiri lagi.” Aku menunduk. Ada rasa haru yang muncul karena aku tahu, dibalik tangisan dan teguran itu, ada kasih sayang yang tak selalu bisa diungkap dengan pelukan.

Angin kembali bertiup. Kali ini membawa bau masakan mungkin tumisan bawang dan cabai. Aku memejamkan mata sejenak. Ada rasa lapar, tapi lebih dari itu, ada rasa syukur. Di balik suara-suara tadi, aku mendengar satu hal yang tak terdengar: kehidupan yang terus berdetak.

Dan dalam keheningan yang semakin dalam, aku mendengar satu suara lagi... yang datang dari dalam diriku. Suara yang selama ini sering kulewatkan. Ia berbisik:

"Tenang saja. Kamu tidak sendiri. Hidup ini tidak harus selalu hebat. Cukup hadir... cukup sadar... cukup dengar."

Aku membuka mata perlahan. Tidak ada yang berubah secara fisik. Tapi ada sesuatu yang terasa lebih damai. Karena hari itu, aku tidak hanya melihat dunia. Aku benar-benar mendengarnya.

Langit mulai berwarna jingga. Matahari merunduk di ufuk barat, memberi salam perpisahan yang lembut. Di sekitarku, suara-suara mulai meredup, tapi juga berubah.

Aku mendengar suara adzan maghrib berkumandang dari mushala kecil di ujung gang. Suara itu selalu menghadirkan rasa tenang dan dalam. Aku mendengarkannya dengan khusyuk, meski tak mengucap sepatah kata. Di dalam hati, aku seperti diajak pulang. Pulang ke diriku sendiri.

Lalu terdengar suara lonceng sepeda tukang roti yang lewat di depan rumah. “Ting... ting... ting…” Begitu sederhana, tapi membangkitkan kenangan masa lalu. Aku tersenyum kecil teringat saat kecil dulu berlari keluar rumah hanya demi sepotong roti manis. Sekarang, aku hanya memandangi dari jauh. Tak lagi berlari, tapi kenangannya tetap terasa hangat.

Dari rumah-rumah sekitar, terdengar suara piring dan sendok beradu di meja makan. Suara khas yang menandakan makan malam sedang dimulai. Terkadang diiringi tawa kecil, obrolan ringan, atau bahkan suara televisi dari ruang tengah.

Aku terdiam. Ada kehangatan, tapi juga sedikit rasa sepi. Karena di saat semua orang berkumpul, aku justru menyadari betapa sunyinya rumahku malam ini. Tapi aku tak mengusir rasa itu. Aku hanya mendengarkannya, seperti mendengarkan suara lain: suara hatiku sendiri yang berkata, “Tak apa. Tak harus selalu ramai untuk merasa hidup.”

Langit kini benar-benar gelap. Suara jangkrik mulai muncul dari arah kebun belakang. Lalu suara kipas angin pelan-pelan menggantikan angin sore yang mulai hilang. Di kejauhan, suara kendaraan masih melintas di jalan besar. Tapi semuanya terasa seperti gema. Dunia seperti berbicara pelan malam ini seolah memintaku ikut melambat, ikut diam, ikut tenang.

Dan malam pun benar-benar tiba.

Aku duduk di sana, tidak lagi mencari suara. Tapi membiarkan suara datang kepadaku.

Dan dari semua suara yang ku dengar hari ini, yang paling jelas justru adalah… diriku sendiri.

Malam telah matang. Jam dinding di ruang tamu berdetak pelan, nyaris tak terdengar siang tadi, tapi kini menjadi satu-satunya irama yang konsisten. Tik... tik... tik... Waktu terus berjalan.

Aku masih duduk, kini di dalam rumah. Lampu remang-remang menyala di pojok ruangan. Di luar, suara anjing menggonggong sesekali memecah keheningan. Mungkin ada motor melintas, atau hanya sekadar reaksi pada malam yang terlalu sepi.

Angin malam menyusup dari celah jendela. Tidak membawa suara ramai, tapi membawa rasa rasa sejuk yang menyentuh kulit, dan rasa hening yang menyentuh hati. Hening. Tapi bukan hening kosong. Ini hening yang dalam, seperti jeda sebelum seseorang menangis… atau sebelum seseorang menyadari sesuatu.

Lalu, dari kejauhan, terdengar suara kereta lewat, samar tapi jelas. Deru roda logam melintas rel, semakin lama semakin mengecil… hingga hilang. Aku menatap langit-langit dan bertanya dalam hati, “Ke mana orang-orang di dalamnya akan pergi? Apakah mereka sedang pulang? Atau justru sedang meninggalkan rumah?”

Aku mulai berpikir tentang perjalanan hidupku sendiri. Sudah sejauh mana aku berjalan? Masihkah aku tahu arah pulang?

Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel berbunyi di meja. Tapi aku tak langsung mengambilnya. Malam ini aku tidak ingin terganggu oleh dunia maya. Malam ini aku ingin hadir di dunia nyata yang sunyi, tapi jujur.

Lalu aku mendengar suara yang tidak datang dari luar. Detak jantungku. Perlahan, stabil. Tanda bahwa aku masih di sini, meski dunia di sekitarku mulai tidur.

Dan dari dalam diriku, suara itu kembali muncul. Bukan berupa kata-kata. Tapi rasa. Rasa yang berkata:

"Kamu sudah melewati banyak hal."

"Kamu boleh lelah. Tapi jangan berhenti."

"Kadang yang kamu butuhkan hanyalah mendengar bukan untuk menjawab, tapi untuk memahami."

Malam terus berjalan. Mata mulai berat, tapi hati terasa ringan. Dalam kesendirian ini, aku justru merasa ditemani oleh semua suara yang sebelumnya tak pernah benar-benar kudengar. Dunia ternyata tak pernah benar-benar diam kita saja yang terlalu sibuk untuk mendengarkannya.

Dan malam ini, untuk pertama kalinya sejak lama...

Aku benar-benar mendengarkan.Aku terbangun. Entah pukul berapa, tapi langit masih gelap. Hanya sedikit cahaya pucat yang merayap dari balik jendela. Udara di kamar terasa dingin, tapi sunyinya berbeda dari malam tadi. Bukan sunyi yang dalam, melainkan sunyi yang seperti... bersiap.

Aku duduk perlahan di tepi ranjang. Mendengarkan. Tidak banyak suara.

Tapi di kejauhan, samar-samar, suara ayam jantan mulai terdengar. Tidak serempak, hanya satu, dua... seperti alarm alam yang mulai membangunkan dunia. Aku memejamkan mata sejenak. Suara itu bukan hanya tanda pagi, tapi tanda kesempatan baru.

Lalu dari arah dapur, terdengar bunyi air menetes dari kran ritmis, pelan, tapi pasti. Tuk... tuk... tuk... Aku menatap langit-langit. Pikiran mulai mengembara ke banyak hal. Tentang hari yang akan datang. Tentang hal-hal yang belum selesai. Tentang luka yang masih terasa.

Tapi tak lama, suara adzan subuh pun berkumandang. Kali ini dari masjid yang lebih jauh. Suaranya tenang, mengalun lambat. Tidak membangunkan dengan paksa, tapi seperti mengajak jiwa yang tertidur untuk pelan-pelan sadar.

Aku menarik napas panjang. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Bukan karena suara itu saja, tapi karena kesadaran bahwa hidup ini selalu bergerak. Bahkan saat kita merasa terdiam.

Kulkas berdengung pelan, hampir tak terdengar, tapi sekarang aku menyadarinya. Bahkan benda mati pun ternyata tak pernah benar-benar diam. Dan mungkin, begitu juga hatiku.

Aku berjalan ke jendela. Di luar sana, langit mulai berwarna biru gelap, perlahan menyingkirkan hitam pekat malam. Tak ada suara ramai. Hanya ada angin subuh yang dingin, suara dedaunan bergeser pelan, dan dunia yang bersiap membuka mata.

Dan di tengah keheningan itu, aku sadar...

Semua suara hari ini dari pagi hingga subuh bukan hanya tentang bunyi. Mereka adalah pantulan jiwaku sendiri. Apa yang aku dengarkan, sebenarnya adalah cara semesta berbicara padaku. Memberi tahu bahwa aku masih hidup. Bahwa aku tidak sendiri. Bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk mendengar... dan merasa.

Dan saat langit mulai benar-benar terang, aku tersenyum kecil.

Karena hari baru telah datang.

Dan aku siap mendengarkannya lagi.

Pagi telah tiba.

Cahaya matahari masuk malu-malu lewat celah tirai. Burung-burung kecil kembali berkicau lebih ramai dari subuh tadi. Seperti sedang saling menyapa, saling memberitahu bahwa hari telah dimulai.

Aku tersenyum. Suara itu bukan hanya nyanyian alam. Tapi seperti ucapan, “Selamat datang di dunia, hari ini.”

Dari dapur, terdengar suara air mendidih. Lalu panci yang diketuk perlahan, dan sendok mengaduk teh atau kopi. Aroma wangi mulai menguar, mengisi ruang kecilku dengan harapan. Sarapan belum disiapkan, tapi pagi ini sudah terasa cukup hangat hanya dengan suara-suara itu.

Di luar rumah, suara ibu-ibu menyapa tetangga, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa, dan dari ujung jalan, sayup-sayup terdengar radio warung yang memutar lagu lawas.

"Aku ingin begini, aku ingin begitu..."

Lagu Doraemon yang dulu sering kunyanyikan tanpa sadar, kini terdengar seperti pengingat: betapa sederhananya bahagia saat kecil dulu.

Aku menarik napas panjang. Udara pagi ini terasa bersih. Segar. Tapi yang paling kurasakan adalah perubahan dalam diriku sendiri.

Setelah semalam mendengar suara-suara sunyi, pagi ini aku menyambut keramaian dengan hati yang lebih terbuka. Tak lagi jenuh atau bosan. Tapi justru bersyukur.

Karena ternyata, suara-suara kecil yang dulu tak kupedulikan suara ketel mendesis, suara anak tertawa, suara sendok jatuh, suara orang lewat depan rumah semuanya adalah penanda bahwa hidup masih ada. Masih berjalan. Masih punya cerita.

Dan aku, di antara semua itu, tidak hanya sekadar hadir…

Tapi juga hadir untuk mendengarkan.

Siang menjelang.

Matahari kini tinggi. Terik menyelimuti genteng-genteng rumah, dan bayangan pohon jatuh tegak ke tanah. Dunia berubah cepat tak lagi lembut seperti subuh, tapi penuh energi dan desakan waktu.

Suara mesin motor dan mobil berseliweran di jalan depan rumah. Klakson, deru knalpot, kadang diselingi teriakan ojek online yang memanggil nama penumpang. Dulu suara ini sering membuatku pusing. Tapi hari ini, aku hanya mengamati.

Di balik semua kebisingan itu, aku tahu: semua orang sedang berusaha. Mengejar sesuatu. Mencari penghidupan. Bertahan.

Lalu, suara dari dalam rumah mulai memenuhi ruang.

Bunyi notifikasi dari HP, pesan-pesan grup, suara berita dari televisi, dan entah kenapa suara kompor yang menyala pun terasa lebih gaduh. Panci berdentang, minyak mendesis. Aku menyiapkan makan siang sambil mendengarkan semuanya tapi tidak semuanya aku masukkan ke hati.

Sambil mengaduk masakan, aku berpikir…

Betapa banyak suara dalam hidup ini sebenarnya hanya numpang lewat. Tapi sering kali, kita biarkan mereka mengganggu isi kepala kita.

Seperti komentar orang yang tak mengenal kita.

Seperti berita yang membuat cemas, tapi tak bisa kita kendalikan.

Seperti pikiran sendiri yang ribut tanpa henti: “Kamu harus ini... kamu belum itu...”

Tapi hari ini, aku memilih.

Aku memilih mendengarkan suara-suara yang membangun, bukan menjatuhkan.

Aku memilih suara yang membuatku ingat untuk bersyukur.

Aku memilih suara hatiku sendiri, yang sejak subuh tadi terus bicara lembut di sela riuhnya dunia.

Di tengah semua hiruk-pikuk itu, aku menemukan ruang kecil dalam diriku yang tetap tenang.

Aku tak lagi terganggu oleh bising. Karena sekarang, aku tahu:

Mendengar bukan hanya soal telinga, tapi juga tentang kesadaran.

Kesadaran untuk memilah mana suara yang harus masuk, dan mana yang cukup dilewatkan saja.

Sore tiba tanpa tergesa.

Langit mulai berwarna oranye lembut, seperti kanvas yang dilukis tangan sabar. Matahari menggantung rendah, dan bayangan-bayangan mulai memanjang di halaman. Aku duduk kembali di teras rumah, seperti pagi tadi. Tapi kali ini suasananya berbeda.

Suara anak-anak pulang sekolah mulai terdengar dari ujung gang. Beberapa masih semangat, tertawa sambil berlari. Sebagian lain lelah, langkahnya pelan dengan tas diseret. Aku mengingat diriku sendiri di masa itu pulang dengan seragam lusuh, tapi hati riang. Seketika, hatiku jadi lunak. Waktu memang berjalan, tapi kenangan tetap tinggal.

Dari dalam rumah, suara kipas angin berdengung pelan. Suara itu menenangkan, seperti pengingat bahwa tak semua hal harus cepat. Sesekali terdengar pintu lemari dibuka, sendok dikeluarkan, piring ditata. Persiapan makan malam sudah dimulai. Aku hanya mendengarkan, sambil menghirup udara sore yang mulai dingin.

Tiba-tiba, suara azan asar berkumandang. Suaranya pelan, tidak sekuat subuh atau maghrib, tapi justru karena itulah ia terasa menyentuh. Mengajak, tanpa memaksa. Menyapa, tanpa menuntut.

Di kejauhan, ada suara sapu lidi menyapu halaman, suara khas yang selalu mengingatkanku pada rumah-rumah yang dijaga dengan cinta. Sambil mendengarkannya, aku menatap langit dan berpikir:

"Dunia ini tak pernah benar-benar diam. Tapi juga tak pernah benar-benar bising. Yang membuatnya terasa berat... adalah isi pikiranku sendiri."

Dan saat aku mendengarkan semuanya dengan tenang tanpa menghakimi, tanpa terburu-buru aku sadar...

Setiap suara membawa pesan.

Tentang kesabaran. Tentang kesederhanaan. Tentang waktu yang tak bisa diputar.

Dan aku, yang biasanya terlalu sibuk untuk memperhatikan, hari ini benar-benar hadir di dalamnya.

Langit perlahan mulai gelap. Burung-burung kembali ke sarangnya. Dan aku juga ingin pulang bukan hanya secara fisik, tapi pulang ke dalam diriku sendiri.

Malam kembali.

Tapi rasanya tak sama dengan malam kemarin.

Kini aku lebih tenang. Lebih sadar. Seperti seseorang yang baru saja menempuh perjalanan jauh, lalu duduk di beranda rumah sendiri, melepas sepatu, menatap langit, dan berkata, “Aku sampai.”

Suara jangkrik kembali terdengar dari arah semak-semak. Tidak sendiri kali ini mereka seperti berkelompok, bernyanyi bersama. Ritme mereka konstan, seperti lagu pengantar bagi dunia yang mulai meremang. Kipas angin berdengung, piring-piring sisa makan malam dirapikan, dan suara televisi dari rumah sebelah menyala pelan.

Tapi semua suara itu kini tak lagi terasa mengganggu. Justru membuatku merasa… ditemani.

Dari kamar, terdengar suara detak jam dinding pelan, sabar, setia.

Tik... tik... tik...

Waktu berjalan. Tapi aku tak merasa dikejar. Justru aku merasa dilindungi. Seolah malam berkata,

"Kau boleh istirahat sekarang. Segalanya sudah cukup untuk hari ini."

Aku duduk sendirian, tapi tak merasa sepi.

Karena di dalam keheningan malam ini, ada banyak suara yang tak bisa didengar oleh telinga hanya bisa dirasakan oleh hati.

Suara syukur kecil karena masih bisa melihat dan mendengar hari ini.

Suara rindu yang tak sempat terucap, tapi terus hidup dalam diam.

Suara luka lama yang malam ini tak ingin menyakitkan, hanya ingin dipeluk dan dimaafkan.

Dan yang paling pelan tapi jelas:

Suara diriku sendiri yang akhirnya bisa bicara… tanpa takut diabaikan.

Malam ini bukan tentang sepi.

Tapi tentang berdamai.

Dan saat aku mematikan lampu, menarik selimut, menutup mata…

aku tahu satu hal:

Mendengarkan bukan hanya soal telinga yang terbuka,

tapi hati yang hadir sepenuhnya.

Dan hari ini, aku benar-benar telah mendengarkan hidup.

Larut malam.

Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Semua telah tertidur. Tidak ada suara motor, tidak ada suara ayam, tidak ada suara anak tertawa. Hanya ada hening yang pekat.

Aku terbaring di ranjang. Lampu sudah dimatikan. Tapi mataku belum mau menutup. Bukan karena cemas. Tapi karena masih ada yang ingin kudengar... dari dalam diriku sendiri.

Di saat inilah, suara-suara paling halus mulai muncul.

Suara napasku sendiri.

Masuk… keluar… pelan… stabil.

Aku mendengarnya, lalu menyadari: aku masih di sini, aku masih hidup.

Suara pikiranku.

Lebih jernih dari siang, lebih lembut dari sore. Ia tidak berisik seperti biasanya. Malam ini, pikiranku seperti seorang teman yang duduk diam di sebelahku. Tidak menuntut. Hanya hadir.

Ia berkata:

"Hari ini kamu cukup. Hari ini kamu bertumbuh."

Aku memutar ulang semua suara yang kutemui hari ini. Suara ayam jantan, suara anak-anak, suara kipas, suara sendok, bahkan suara detak jam.

Masing-masing datang, tinggal sebentar, lalu pergi.

Dan aku belajar untuk tidak melekat.

Belajar untuk hanya mendengarkan, tanpa harus menahan.

Dan saat semuanya benar-benar sunyi...

Aku mendengar satu suara terakhir.

Bukan dari luar. Bukan dari pikiran. Tapi dari jauh, di dasar hatiku.

Suara itu berbisik:

"Kau telah belajar hari ini.

Bukan untuk menguasai dunia.

Tapi untuk memahami bahwa dunia ini hidup,

dan kamu pun hidup di dalamnya bukan untuk terburu-buru,

tapi untuk benar-benar hadir."

Aku menutup mata.

Tidak ada ketakutan.

Tidak ada suara yang harus diburu.

Tidak ada keinginan untuk membuktikan apa pun.

Yang ada hanya damai.

Karena malam ini,

aku tidak hanya tidur dengan tenang…

tapi juga beristirahat dengan sadar

setelah benar-benar mendengarkan dunia,

dan mendengarkan diriku sendiri.

Hidup adalah kumpulan suara.

Dan kamu telah belajar mendengarkannya… dengan hati.

Sampai jumpa di kisah selanjutnya.


— Tamat —







Tidak ada komentar:

Posting Komentar