Hallo gaes…pagi yang ceria semoga kalian selalu ceria di setiap hembusan nafas kalian.. ngomong-ngomong masalah hp nih ya,ada tidak sih kalian yang masih belum punya hp atau lebih nyaman tidak punya hp atau pernah tidak bermain hp untuk mendamaikan diri atau masalah lainnya? Sebenarnya hari gini tidak punya hp itu kaya udik tidak sih kaya kuno gitu,bayangkan saja anak balita di bawah 5 tahun loh sudah ada yang di berikan hp,hemmmm kalau aku lebih tidak setuju sih ya apa pun alasannya kalau di berikan hp cuma-cuma,belum butuh anak balita itu,memang rada sensitif sih masalah hp ini berlaku untuk juga untuk semuanya termasuk pasutri juga karena marak nya kejahatan,kemaksiatan,itu bermula dari hp, semuanya tinggal tergantung dari diri seseorang sebenarnya memanfaatkan teknologi itu sendiri,karena hp juga punya fungsi tersendiri.
Penggunaan gadget (seperti HP, tablet, laptop) itu bisa berdampak positif maupun negatif, tergantung bagaimana dan seberapa sering digunakan. Berikut ini ada beberapa pendapat masalah seputar penggunaan hp di antaranya:
✅ Manfaat Penggunaan Gadget:
1. Akses informasi cepat,belajar, cari berita, atau tutorial jadi lebih mudah.
2. Komunikasi praktis yaitu bisa terhubung dengan keluarga dan teman kapan saja.
3. Media hiburan seperti Menonton, bermain game, atau mendengarkan musik.
4. Alat kerja dan belajar seperti banyaknya aplikasi untuk produktivitas, kelas online, dan tugas.
5. Kreativitas yaitu bisa dipakai untuk menulis, menggambar, edit video, dll.
❌ Risiko Penggunaan Gadget yang berlebihan nah ini yang berbahaya contohnya sebagai berikut:
1. Kecanduan yaitu terlalu lama main game atau media sosial bisa mengganggu aktivitas harian bisa menyebabkan BLAST
2. Masalah kesehatan seperti mata lelah, kurang tidur, postur tubuh jelek.
3. Gangguan sosial bisa mengurangi interaksi langsung dengan orang sekitar.
4. Paparan konten negatif seperti hoaks, cyberbullying, atau konten tidak pantas.
5. Kurangnya konsentrasi terlalu sering buka HP bisa bikin sulit fokus belajar atau bekerja.
Itulah sedikit beberapa manfaat baik dan buruk nya sebuah hp jadi :
π Kesimpulanya:
Gadget tidak salah, tapi cara kita menggunakannya yang penting. Jika digunakan secara bijak dan seimbang, gadget bisa menjadi alat bantu yang sangat berguna. Tapi kalau berlebihan, bisa merugikan diri sendiri dan orang sekitar.
Anak aku gaes pernah di bilang orang miskin gegara tidak punya hp hehehe…aku pikir dia akan sedih ternyata tidak dia menjawab dengan berkata “tidak apa-apa tidak punya hp,tidak punya hp kan tidak menjamin kita masuk surga atau tidak nya” heheee seketika meleleh hati ini di buatnya saat dia bercerita begitu,yah Mak di rumah memang anak-anak tidak boleh bermain hp jangan kan bermain nyentuh saja Anak-anak tidak boleh dan tidak berani,di rumah juga tidak ada televisi,tapi yah namanya kita tinggal dengan orang mayoritas itu membolehkan anak bermain hp yah jadi nya anak-anak di larang pun mereka di luar masih bisa ikut nonton bermain hp ya game dan lainnya,takut aja sih kecolongan.Makanya aku lebih suka anak-anak itu bermain bebas lepas apa saja yang penting jangan hp,bermain sepeda, layangan,bola,petak umpet dan lainnya.Lalu bagaimana kalau yang sudah terlanjur kecanduan hp??? Yah harus di tetapi pelan-pelan,atau yang belum sampai ke canduan itu harusnya di tentukan waktu nya berapa untuk boleh bermain hp,misal sepekan 2 kali di hari Sabtu dan Minggu dan tidak boleh lebih dari 2 jam misal atau lainnya apa sesuai kesepakatan bersama.Karena aku yakin semua orang punya aturan di rumahnya masing-masing ada SOP nya sendiri yang mungkin satu sama lainnya berbeda.Ini ada beberapa SOP di rumah yang ku rangkung berdasarkan observasi bertanya dengan kawan dan juga SOP di rumah ku sendiri :
✅ Aturan Gadget di Rumah
π 1. Waktu Penggunaan Terbatas
Maksimal 2 jam per hari untuk anak-anak.
Atau bisa sepekan 2 kali di hari Sabtu dan Minggu sehari tidak boleh lebih dari 2 jam.
Berlaku progam 1821 di isi dengan 3B,belajar, bermain dan berbicara atau ngobrol semua wajib berkumpul di jam 18.00-21.00 family time no gadget,no kotak2 berupa televisi,mesin cuci,kompor,artinya tidak ada kegiatan aktivitas apa pun,tidak boleh di sambi-sambi harus fokus.
Tidak boleh menggunakan gadget saat:
Makan bersama
Belajar atau mengerjakan PR
Waktu ibadah
Sebelum tidur (1 jam sebelumnya harus bebas gadget)
π️ 2. Gadget Dilarang di Kamar Tidur
Gadget hanya boleh digunakan di ruang keluarga atau ruang terbuka agar lebih mudah diawasi.Tidak boleh dibawa ke tempat tidur untuk mencegah begadang.
π§ 3. Gunakan untuk Hal Positif
Harus ada waktu khusus untuk:Aplikasi edukatif (belajar, membaca, menggambar).Komunikasi keluarga (video call dengan saudara).Game dan media sosial boleh, tapi harus seimbang.
π 4. Orang Tua Ikut Mengawasi
Orang tua punya akses ke aplikasi dan akun anak (dengan transparan, bukan menyadap).Gadget tidak boleh digunakan secara sembunyi-sembunyi.
π¨π©π§π¦ 5. Waktu Tanpa Gadget (Family Time)
Ada waktu khusus tanpa gadget, misalnya:
Malam minggu
Liburan keluarga
Minggu pagi (jalan pagi, masak bareng, dll)
π§Ή 6. Gadget Tidak Menggantikan Tugas
Gadget hanya boleh digunakan setelah:
Mengerjakan tugas sekolah
Menyelesaikan pekerjaan rumah (membereskan kamar, dll)
π ♀️ 7. Tidak Menonton atau Mengakses Konten Negatif
Dilarang membuka konten kekerasan, pornografi, atau hal tidak pantas.Jika menemukan konten buruk, wajib cerita ke orang tua.
Itu hanya sedikit contoh SOP masih,banyak SOP lainnya,intinya hp itu boleh di berikan dengan syarat atau pakai metode 3D yaitu di pinjamkan,dibutuhkan,dan di awasi.Nah itu ada aturan penggunaan gadget untuk pasutri di rumah
Aturan penggunaan gadget untuk pasangan suami istri (pasutri) sangat penting agar tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga. Di zaman digital ini, gadget bisa jadi alat bantu komunikasi, tapi juga bisa jadi penghalang jika tidak digunakan dengan bijak.Berikut contoh aturan sehat penggunaan gadget untuk pasutri:
π Aturan Gadget Sehat untuk Pasutri
❤️ 1. Prioritaskan Kehadiran, Bukan Layar Saat ngobrol, makan bersama, atau di tempat tidur: gadget disimpan.Fokus pada pasangan, bukan notifikasi.
π 2. Waktu Bebas Gadget (Quality Time)Setiap hari ada waktu khusus tanpa gadget:Minimal 1 jam di malam hari hanya untuk ngobrol, bercerita, atau nonton bareng tanpa HP.Saat liburan atau akhir pekan: gadget hanya digunakan seperlunya.
π 3. Transparansi, Bukan Curiga
Tidak wajib saling mengecek HP, tapi tidak ada rahasia.Saling terbuka tentang aplikasi, teman komunikasi, dan kebiasaan online.
π️ 4. Tidak Main Gadget Sebelum Tidur
Satu jam sebelum tidur: gadget diletakkan.Gunakan waktu itu untuk refleksi, ngobrol santai, atau doa bersama.
π§ 5. Gunakan Gadget untuk Hal Positif Bersama
Nonton film, ikut kelas daring, rencana keuangan, atau belajar parenting.Bisa juga buat hal seru: cari resep, ide liburan, atau inspirasi rumah.
π 6. Jangan Sembunyikan Masalah di Balik Layar
Kalau sedang kesal, jangan pelampiasan dengan sibuk main HP sendiri.Tetap komunikasikan perasaan dengan cara dewasa.
π¨π©π§ 7. Jadi Contoh Baik untuk Anak
Gunakan gadget dengan bijak agar anak belajar dari melihat, bukan hanya disuruh.Jangan menyuruh anak lepas HP kalau orang tuanya justru asyik main sendiri.
Di sini aku akan menceritakan sebuah kisah yang mungkin kita bisa ambil pelajaran nya atau malah sedang berada di fase yang sama dengan kisah ini.
Judul: "Jarak di Ujung Layar"
Dulu, setiap malam selepas makan malam,Arsen dan Hilyah selalu duduk berdampingan di sofa ruang keluarga. Mereka berbincang soal hari yang dilewati, merencanakan liburan, atau sekadar menonton film sambil berbagi cemilan.Namun, sejak Arsen mendapat promosi dan membeli ponsel baru, segalanya mulai berubah.
Awalnya hanya sesekali.Arsen bilang harus membalas email kantor, lalu lanjut membuka media sosial. Malam-malam yang dulu penuh tawa, kini diisi dengan sunyi dan cahaya layar ponsel yang memantul di wajahnya.
Hilyah mencoba memulai obrolan.
"Mas, besok kita jadi ke rumah ibu?"
"Hm? Iya, iya… sebentar ya, ini ada yang lucu," jawab Arsen tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada ponsel.
Hilyah tertawa kecil, mencoba ikut duduk dekat dan melihat layar suaminya, tapi Arsen segera menggulir layar ke atas. "Biasa, akun kerjaan. Nggak penting kok."
Malam demi malam berlalu. Hilyah semakin jarang bicara. Hatinya mulai bertanya-tanya, apakah dia kalah menarik dibanding layar ponsel itu?Sampai suatu malam, Hilyah memberanikan diri bicara.
"Mas… aku kangen."
Arsen menoleh, sedikit terkejut. "Kangen? Kan kita tiap hari ketemu."
"Iya, tubuhmu di sini. Tapi hatimu… entah di mana. Sejak ponsel itu datang, rasanya aku seperti sendirian di rumah ini."
Arsen terdiam. Ia menatap Hilyah, lalu menatap ponselnya. Notifikasi terus berdenting, tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mematikan layar dan meletakkan ponsel jauh dari genggamannya.
LIa menggenggam tangan Hilyah
"Maaf. Aku nggak sadar, ternyata benda kecil ini bisa menciptakan jarak sebesar ini."
Sejak malam itu, mereka membuat kesepakatan: satu jam setiap malam tanpa gadget. Hanya mereka berdua, seperti dulu.Karena kadang, hal yang paling penting bukan yang ada di layar, tapi yang duduk tepat di sebelahmu yang menunggumu untuk benar-benar hadir.
Malam-malam tanpa gadget mulai terasa canggung di awal. Arsen beberapa kali masih refleks merogoh kantong celana mencari ponselnya, lalu tersenyum kaku ketika menyadari bahwa ia telah meletakkannya di laci.
Hilyah pun sempat kikuk. Setelah sekian lama hanya berteman sunyi, ia hampir lupa caranya memulai obrolan santai.
Namun, mereka mencoba.
Mereka mulai dengan hal kecil bercerita tentang masa-masa awal pernikahan. Tentang kejadian lucu waktu Arsen salah pesan kue ulang tahun, atau saat Hilyah salah masuk rumah tetangga karena rumahnya dulu belum diberi pagar.
Mereka kembali tertawa. Bukan karena video lucu, tapi karena kenangan yang menghangatkan.
Minggu berganti bulan, dan perlahan hubungan mereka membaik. Namun, seperti hidup pada umumnya, tidak semuanya berjalan mulus.
Suatu malam, Arsen pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya lelah. Ia masuk rumah tanpa senyum, dan langsung menyalakan ponselnya.
Hilyah menatapnya dari dapur, diam. Jam sudah menunjukkan pukul delapa waktu mereka seharusnya mulai "jam tanpa layar".
"Ada rapat dadakan, Hil. Aku harus baca laporan," ucap Arsen tanpa menatap.
Hilyah mengangguk pelan, tapi hatinya mencubit.
Keesokan harinya,Arsen kembali sibuk dengan gawainya, bahkan ketika sarapan. Hilyah mencoba bertanya, tapi jawabannya selalu sama: "Kerjaan."
Hilyah mulai merasa ditinggalkan lagi.
Suatu malam, Hilyah duduk sendirian di ruang keluarga, melihat-lihat album foto lama di laptop. Tiba-tiba Arsen duduk di sebelahnya.
"Maaf," ucapnya tiba-tiba. "Aku pikir cukup dengan meletakkan ponsel saat malam, tapi ternyata aku belum benar-benar hadir sepenuhnya."
Hilyah tak menjawab. Ia hanya menunjukkan satu foto lama mereka di pantai, keduanya tersenyum lebar, tanpa gadget di tangan.
"Aku rindu kita yang seperti ini," bisik Hilyah
Arsen mengangguk. Malam itu, tanpa kata panjang, ia menutup laptop, mematikan ponsel, dan memeluk istrinya erat.
Beberapa hari kemudian, mereka membuat aturan baru: satu hari dalam seminggu tanpa gadget sama sekali "Hari Kita", sebut mereka.
Hari itu mereka jalan pagi, memasak bersama, main kartu, atau sekadar duduk diam sambil saling bersandar.
Ternyata, cinta yang sempat renggang bukan karena hilang. Hanya tertutup sinar layar.
Kini, mereka belajar kembali: bahwa cinta butuh kehadiran, bukan hanya keberadaan.
Hubungan Arsen dan Hilyah mulai membaik. “Hari Kita” setiap minggu menjadi rutinitas menyenangkan. Mereka mulai lebih terbuka dan saling mendengarkan.
Namun, badai datang justru saat langit terlihat cerah.
Suatu malam, saat Arsen tertidur di sofa, ponselnya berdering pelan. Hilyah yang sedang membereskan ruang tamu tanpa sengaja melihat layarnya menyala:
Pesan masuk dari: "Maya (Tim Proyek)"
Bukan nama itu yang membuat hati Hilyah mencelos, tapi isi pesannya:
“Makasih udah nemenin tadi malam, Mas. Aku nggak nyangka kamu perhatian banget…”
Hilyah terdiam. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca.
Ia tahu Maya adalah rekan kerja Arsen, tapi pesan itu terlalu hangat, terlalu pribadi. Rasa curiga menyusup. Perasaan lama yang nyaris sembuh kembali menganga.
Keesokan harinya, Hilyah diam. Ia memasak, menyapu, menyajikan teh semua dengan senyum tipis yang dibuat-buat.
Arsen merasa aneh. “Kamu kenapa, Hil?”
“Capek aja,” jawab Hilyah pelan.
Tapi malamnya, ia tak bisa lagi menyimpan rasa. Di meja makan, ia meletakkan ponsel Arsen di depannya, layar menyala, menampilkan percakapan yang terbuka.
"Aku nggak mau suudzon, Mas. Tapi ini... menyakitkan," ucap Hilyah lirih.
Arsen terkejut. Ia menarik napas panjang.
“Hil, aku akui aku dekat dengan Maya. Tapi bukan seperti yang kamu pikir. Dia hanya teman curhat… waktu kamu masih dingin sama aku dulu.”
Hilyah terdiam. “Jadi, kamu mencari pelarian?”
“Bukan pelarian. Tapi aku butuh didengar.”
“Dan aku?” suara Hilyah meninggi. “Aku juga terluka! Tapi aku tetap di sini, bertahan! Menunggu kamu sadar.”
Suasana tegang. Tak ada suara selain detak jam dinding.
Arsen menunduk. “Maaf. Aku salah. Aku kira dengan menjauh dari layar kita sudah saling kembali. Tapi aku lupa... cinta bukan soal aturan, tapi tentang keberanian untuk jujur dan hadir sepenuhnya.”
Malam itu, mereka tidak tidur sekasur. Hilyah mengunci diri di kamar, Arsen tidur di sofa.
Esoknya, Arsen mengambil cuti kerja. Ia mematikan ponselnya, lalu menyiapkan sarapan hal yang tak pernah ia lakukan.
Ia mengetuk pintu kamar. “Boleh aku bicara?”
Hilyah membuka pintu, wajahnya sayu.
Arsen duduk dan menyerahkan sebuah kotak kecil.
Hilyah membuka perlahan. Isinya: kunci kecil dengan gantungan berbentuk hati, dan secarik kertas bertuliskan:
“Maafkan aku. Ini kunci laci ponselku. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Kalau kau masih ingin, mari kita mulai dari nol.”
Air mata Hilyah Menetes.
“Aku nggak butuh kunci ponselmu, Mas. Aku hanya ingin hatimu kembali ke rumah.”
Arsen memeluknya, erat. Tak ada kata-kata yang lebih tepat malam itu. Hanya pelukan, dan janji dalam diam.
Dan sejak itu, mereka bukan hanya menjauh dari layar, tapi saling membuka layar hati masing-masing dengan kejujuran, luka, dan niat untuk tetap bertahan.
Tiga bulan berlalu sejak malam penuh air mata itu. Arsen dan Hilyah menjalani hari-hari mereka dengan lebih tenang. Komunikasi membaik, kepercayaan perlahan tumbuh kembali.
Arsen benar-benar berusaha. Ia tak lagi sibuk dengan ponsel, bahkan mulai sering menjemput Hilyah dari tempat kerja. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.
Namun, seiring waktu, kehidupan memberi mereka ujian baru: kesibukan.
Arsen mendapatkan tanggung jawab proyek besar di kantornya. Pulang larut malam menjadi kebiasaan baru.Hilyah, yang awalnya mencoba maklum, mulai merasa sendiri lagi.
Bukan karena gadget, tapi karena waktu Arsen tak lagi untuknya.
“Mas, kita jadi pergi akhir pekan ini?” tanya Hilyah suatu malam.
Arsen hanya mengangguk sambil menatap laptop. “Iya, iya. Kita atur, ya.”
Tapi hari itu tak pernah datang. Dua kali Arsen membatalkan rencana karena rapat mendadak. Tiga kali Hilyah makan malam sendirian. Dan empat kali ia tertidur tanpa mendengar suara suaminya.
Hilyah mulai bertanya dalam hati:
Apakah perhatian hanya bertahan ketika rasa bersalah masih membara?
Malam itu,Hilyah menulis surat. Bukan karena ingin pergi, tapi karena ia tak ingin menunggu dalam diam.
“Mas, aku tahu kamu berjuang. Tapi aku pun ingin diperjuangkan.
Aku tak butuh kamu setiap saat, tapi saat aku butuh, semoga kamu benar-benar ada.
Jangan biarkan hubungan ini kembali retak hanya karena kita terlalu sibuk mengejar dunia, tapi lupa rumah yang dulu kita bangun bersama.”
Hilyah meletakkan surat itu di atas meja makan. Lalu tidur, tanpa berharap dibalas dengan kata-kata manis.
Pagi harinya, Arsenmembaca surat itu saat meja makan masih dingin dan kosong. Ia menatap dapur yang sepi, lalu bergegas ke kamar.
“Hill…”
Hilyah menoleh, matanya sembab.
Arsen duduk di tepinya. “Aku lupa, bahwa yang kamu butuhkan bukan jam yang panjang… tapi jam yang utuh.”
Ia mencium tangan Hilyah. “Hari ini aku izin. Bukan karena lelah kerja, tapi karena aku rindu istriku.”
Hari itu, mereka tak pergi ke mana-mana. Mereka hanya duduk di teras rumah, minum teh hangat, dan menatap langit sore.
Tak ada gadget. Tak ada laptop. Tak ada janji besar. Hanya satu hal yang tersisa: kebersamaan.
Dan mereka sadar.
Kadang cinta bukan hilang karena pengkhianatan. Kadang ia hanya terluka oleh hal-hal kecil yang terus dibiarkan: ponsel yang terus menyala, waktu yang tak dibagi, dan perhatian yang perlahan mati.
Tapi selama masih ada dua hati yang mau kembali belajar saling mendengar, cinta akan selalu punya jalan pulang.
Tiga tahun berlalu sejak Arsen dan Hilyah melewati badai rumah tangga pertama mereka. Kini, rumah itu tak lagi hanya berisi dua orang dewasa tapi juga tawa kecil dari seorang anak perempuan bernama Nayla, buah hati mereka.
Nayla tumbuh ceria, cerdas, dan aktif. Namun, seperti anak-anak masa kini, ia mulai tertarik dengan layar: ponsel, tablet, dan televisi.
Awalnya Hilyah membatasi. Satu jam sehari, itupun hanya menonton video edukasi. Tapi lama-lama, batas itu mulai bergeser. Kadang dua jam, kadang lebih, apalagi saat Hilyah sibuk memasak atau Arsen mengerjakan laporan kerja di rumah.
Suatu malam, ketika Hilyah ingin memeluk Nayla sebelum tidur, ia melihat putrinya asyik menatap layar sambil berkata:
“Ssst, Bunda, Nayla lagi nonton. Jangan ganggu, ya…”
Hilyah terdiam. Kalimat itu terdengar… familiar. Seperti kalimat yang dulu sering keluar dari mulut Arsen, bahkan dari dirinya sendiri.
Di malam yang lain, Arsen pulang dan langsung membuka laptop di ruang tamu. Nayla duduk di karpet sambil menatap tablet. Hilyah memperhatikan keduanya dari dapur: dua sosok yang sama-sama ada, tapi tidak benar-benar bersama.
Lalu ia berkata lirih, “Apakah kita sedang mewariskan luka yang sama pada anak kita?”
Malam itu, setelah Nayla tertidur, Hilyah dan Arsen duduk bersama.
“Mas, ingat waktu dulu kita hampir hilang karena gadget?” tanya Hilyah.
Arsen mengangguk pelan.
“Sekarang, jangan sampai Nayla kehilangan kita… karena kita terlalu sibuk dengan layar, dan dia belajar meniru.”
Esoknya, Arsen dan Hilyah membuat keputusan besar.
Mereka memulai “Jam Keluarga” setiap malam tanpa gadget, tanpa TV. Mereka bermain balok, membaca cerita, kadang menggambar atau main bayangan senter di dinding.
Nayla pun mulai terbiasa. Ia tak lagi mencari tablet ketika waktu malam tiba. Kini ia menunggu giliran membaca buku bersama ayah dan bundanya.
Namun, bukan berarti semuanya mudah. Pernah sekali Nayla tantrum karena ingin menonton video saat jam makan. Pernah juga Arsen tergoda membuka email kantor saat “jam keluarga”.
Tapi mereka belajar dari masa lalu: konsisten itu tidak harus sempurna, tapi harus diperjuangkan.
Suatu malam, sebelum tidur, Nayla berkata:
“Bunda, nanti kalau Nayla besar, mau punya keluarga kayak bunda sama ayah. Yang suka main bareng, bukan main HP terus.”
Air mata Hilyah menggenang. Arsen hanya bisa tersenyum sambil memeluk anak dan istrinya.
Dan saat itu, mereka tahu:
Perjuangan mereka melawan layar tak sia-sia.
Karena cinta yang hadir sepenuh hati bisa menanam warisan yang tak terlihat tapi tumbuh, kuat, dan terus hidup dalam hati seorang anak.
Nayla kini berusia 13 tahun. Ia duduk di bangku SMP, mulai mengenal dunia yang lebih luas dari sekadar ruang keluarga dan halaman sekolah. Ia juga mulai punya ponsel sendiri diberikan saat ulang tahunnya yang ke-12, dengan janji bahwa ia akan menggunakannya dengan bijak.
Awalnya semua berjalan baik. Nayla menggunakan ponselnya untuk belajar, membuat tugas, atau video kreatif. Tapi perlahan, dunia media sosial mulai menyedot perhatiannya.
Setiap malam, Hilyah memperhatikan perubahan halus itu:
Nayla jadi lebih diam di meja makan.
Ia sering membawa ponsel ke kamar.
Matanya mulai lelah, tak lagi berbinar seperti dulu.
Dan satu hal yang paling terasa—senyum Nayla kini lebih sering muncul di foto, daripada di wajah aslinya.
Suatu malam, Hilyah masuk ke kamar Nayla tanpa mengetuk. Ia melihat putrinya menangis diam-diam, sambil memandangi foto teman-temannya di media sosial.
"Nayla?" Hilyah mendekat pelan.
Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. "Nggak apa-apa, Bun. Cuma capek."
Hilyah tak memaksa. Ia hanya duduk di tepi ranjang dan memeluk anaknya, seperti dulu waktu Nayla masih kecil.
“Ada yang bilang kamu nggak cukup cantik? Atau kamu merasa kurang dibanding teman-temanmu?”
Nayla mengangguk kecil, lalu berkata lirih,
“Mereka kelihatan sempurna semua, Bun. Aku kok nggak seceria mereka, ya?”
Keesokan harinya,Arsen dan Hilyah mengajak Nayla ke tempat yang dulu sering mereka datangi: danau kecil di pinggir kota. Tak ada sinyal kuat di sana. Hanya langit luas, air tenang, dan pohon-pohon yang menggoyangkan rantingnya ditiup angin.
Di sana, Hilyah menunjukkan sebuah foto dari album lama: Nayla umur 5 tahun, penuh lumpur di pipi tapi tertawa lepas.
“Lihat, ini Nayla yang paling Bunda banggakan. Bukan karena cantik, tapi karena asli.”
Arsen menambahkan, “Kamu tahu kenapa dulu kami batasi gadget waktu kamu kecil? Karena kami ingin kamu punya hati yang utuh sebelum punya layar.”
Hari itu, mereka bicara lama. Tentang dunia maya yang bisa menipu. Tentang standar kecantikan yang dibuat-buat. Tentang pentingnya merasa cukup dan percaya diri, meski tidak selalu tampil sempurna.
Nayla mendengarkan.
Dan malam itu, atas keputusannya sendiri, ia uninstall beberapa aplikasi media sosial. Bukan karena dilarang, tapi karena sadar hatinya terlalu berharga untuk diukur dengan jumlah likes.
Kini, mereka sekeluarga punya satu kebiasaan baru: "Hari Asli". Satu hari dalam seminggu tanpa unggahan, tanpa filter, tanpa pose.
Hanya mereka dalam keadaan paling nyata, paling jujur, dan paling utuh.
Dan bagi Nayla, itulah hari di mana ia merasa paling cantik. Bukan karena dilihat banyak orang, tapi karena dilihat oleh orang yang paling mencintainya dengan utuh, tanpa layar.
Waktu berlalu. Nayla kini sudah 24 tahun. Ia baru saja menyelesaikan kuliah dan kembali ke rumah orang tuanya, membawa selembar surat undangan kerja dari luar kota.
Rumah itu masih sama: cat temboknya sedikit memudar, rak buku penuh dengan novel dan album foto. Tapi bagi Nayla, rumah itu selalu hangat selalu menjadi tempat ia menemukan dirinya yang paling asli.
Sore itu, Nayla duduk bersama kedua orang tuanya di teras. Angin sore menyapa lembut, aroma teh jahe mengepul dari cangkir.
“Bunda, Ayah,” katanya pelan, “Besok Nayla harus pindah ke Surabaya.” Hilyah menahan napas.Arsen mengangguk, meski matanya tampak basah.
“Kami sudah siap,” kata Arsen pelan. “Karena kamu juga sudah siap. Tapi…”
Ia menatap putrinya dalam, “Apa kamu masih ingat semua yang pernah kita lewati?”
Nayla tersenyum. Lalu dari tas kecilnya, ia mengeluarkan sebuah buku harian lusuh.
“Aku menulis semua, sejak kecil. Tentang waktu Ayah berhenti main HP dan peluk aku waktu aku takut gelap. Tentang Hari Kita. Tentang Hari Asli. Tentang waktu aku merasa jelek dan Bunda bilang aku paling cantik karena jujur.”
Ia menatap mereka penuh cinta. “Semua itu yang bikin aku jadi Nayla yang sekarang.”
Malamnya, sebelum tidur untuk terakhir kalinya di kamar masa kecilnya, Nayla membuka laci meja. Di sana, ada benda kecil yang dulu diberikan oleh Ayahnya:
Gantungan kunci berbentuk hati.
Masih ada secarik kertas terlipat di baliknya.
“Jika kamu merasa dunia terlalu ramai, terlalu bising, atau terlalu banyak tuntutan… ingatlah, kamu pernah tumbuh dalam rumah yang membisikkan cinta lewat kehadiran, bukan layar. Pulanglah kapan saja. Rumah ini tak pernah mematikan lampunya.”
Nayla menangis pelan. Tapi bukan karena sedih karena ia tahu, betapa banyak orang tumbuh tanpa kehangatan seperti yang ia miliki.
Dan di dalam hatinya, ia berjanji:
Kelak, jika ia membangun rumahnya sendiri,
ia pun akan menanam cinta dengan cara yang sama
bukan dengan suara notifikasi,
tapi dengan pelukan, tawa, dan waktu yang diberikan sepenuh hati.
Arsen dan Hilyah tidak hidup mewah. Mereka tidak punya mobil mahal, tidak viral di media sosial, dan tidak masuk berita manapun. Tapi mereka punya sesuatu yang jauh lebih langka: ketulusan yang mereka pelihara seumur hidup.
Setelah Nayla beranjak dewasa dan punya rumah tangga sendiri, Arsen dan Hilyah menjalani hari tua di rumah kecil yang dulu mereka bangun bersama.
Pagi mereka diisi dengan bercocok tanam, membaca koran, dan menonton burung dari jendela. Malam mereka diisi dengan percakapan ringan, teh hangat, dan kadang hanya duduk bersebelahan tanpa banyak kata.
Satu hari, saat senja memantulkan cahaya ke dinding ruang tamu,Arsen bertanya,
“Hil masih ingat waktu kita hampir kehilangan satu sama lain?
”Hilyah tersenyum, mengangguk pelan.
“Tapi akhirnya kita memilih kembali, bukan?”
“Iya. Karena cinta itu bukan soal tak pernah salah. Tapi tentang berani pulang.”
Tahun berikutnya,Arsen mulai sering sakit. Nafasnya pendek, langkahnya berat. Hilyah tetap setia di sisinya membacakan doa, menyuapi bubur, memijat kakinya setiap malam.
Dan pada suatu pagi yang tenang, Arsen menghembuskan napas terakhirnya di ranjang, dengan tangan masih menggenggam tangan Hilyah.
Hilyah tak menangis keras. Ia hanya duduk di sisinya, menggenggam tangan itu erat-erat, lalu berkata lirih:
“Terima kasih telah menjadi laki-laki yang tak sempurna... tapi tak pernah pergi.”
Beberapa tahun kemudian, Hilyah pun berpulang. Di lemari kamarnya, Nayla menemukan sebuah kotak kayu. Di dalamnya ada dua benda:
Gantungan kunci berbentuk hati yang dulu Arsen berikan.
Sebuah surat, ditujukan untuk Nayla.
“Nak…
Jika suatu hari kamu rindu, bukan hanya pada kami, tapi pada kehangatan cinta yang sederhana…
Lihatlah ke ruang tanpa layar, tanpa notifikasi.
Karena di sanalah kami tinggal tempat di mana kamu dulu belajar, bahwa kehadiran adalah bentuk cinta yang paling dalam.
Titipkan nilai ini ke anakmu, dan anak-anaknya kelak.
Cinta yang memilih diam saat dunia ramai.
Cinta yang tetap pulang, meski sempat tersesat.”
“The end”
Alhamdulillah gaes selesai sudah ceritanya mungkin banyak kasus yang tentang bahaya nya setan gepeng alias hp ini, intinya kita harus bisa jaga diri kita untuk tidak terlena dengan bahaya nya hp .Semoga kita semua terselamatkan dari fitnah setan gepeng karena benar sangat mengerikan bahaya nya baik untuk semua kalangan.
Setan gepeng alias hp ini sering membuat lalai kita semua,apa lagi para kaum mageran bin rebahan ya sudah lah enjoy aja scrol medsos lihat gosip,lihat berita viral,liat ini itu pokoknya waktunya habis untuk bermain gadget belum lagi kalau yang kecanduan game,atau apa lah hemm.Belum lagi kasus penculikan anak,perselingkuhan, penipuan dan pembunuhan,dunia di era digital memang ngeri ngeri sedap pokoknya yah.. waspadalah kita gaes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar