Senin, 23 Juni 2025

Aku Si Wajan Setia

Namaku Wajan. Tubuhku hitam legam, sedikit mengkilap kalau habis dicuci, tapi lebih sering kusam karena noda minyak dan sisa bumbu yang menempel meski sudah digosok berkali-kali. Aku tinggal di dapur sempit milik Bu Sri pemilik rumah yang setiap hari sibuk dari pagi sampai malam. Usia kami mungkin tak beda jauh, karena sejak rumah ini dihuni, aku sudah ada di sini.

Setiap pagi, aku bisa mencium aroma tumisan bawang yang menggoda. Itu biasanya pertanda Bu Sri akan membuat sarapan. Aku tahu betul urutannya. Pertama, dia akan mengelus tanganku dengan sedikit minyak, lalu bawang merah, putih, dan cabe masuk satu per satu. Suara “cessss!” yang keluar dariku seperti ucapan “selamat pagi” dari aku untuknya.

Aku melihat segalanya dari posisiku di atas kompor tua yang mulai berkarat. Kadang aku merasa kasihan pada Bu Sri. Wajahnya lelah, matanya sayu, tapi tangannya tak pernah berhenti bergerak. Ia memasak bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk tiga anaknya dan suaminya yang sering pulang larut.

Aku pernah mendengar Bu Sri menangis pelan sambil mengaduk sayur bayam di tubuhku. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi aku bisa merasakannya. Getaran sendok kayu yang menghantam tubuhku lebih pelan dari biasanya, seperti ada beban di hatinya yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun. Tapi aku mendengarnya.

Pernah juga aku jadi saksi pertengkaran hebat antara dia dan suaminya. Piring pecah. Gelas beterbangan. Tapi aku tetap diam di tempatku. Setelah itu, Bu Sri datang, menyentuhku dengan tangan gemetar dan mulai memasak mi instan. Entah untuk siapa malam itu, tapi aku yakin, hanya aku yang melihat air matanya jatuh satu per satu ke dalam rebusan mi.

Tapi tak semuanya kelam. Aku juga jadi bagian dari momen-momen bahagia. Waktu si bungsu, "Wati", ulang tahun, aku dipakai untuk menggoreng bakwan kesukaan keluarga. Bau harum jagung dan daun bawang menari-nari di udara. Tawa anak-anak mengisi dapur, dan untuk sesaat, rumah ini penuh kehangatan.

Aku bukan sekadar alat. Aku saksi bisu dari cerita hidup sebuah keluarga. Aku tahu rahasia dapur, rahasia hati, bahkan rahasia yang tak pernah diucapkan. Tubuhku mungkin gosong di bagian bawah, gagangku longgar, dan kadang aku diletakkan di tempat paling pojok. Tapi ketika Bu Sri tak tahu harus masak apa, dia tetap kembali padaku.

"Aduh, wajanku satu ini memang paling bisa diandalkan," katanya suatu hari sambil menepukku pelan.Saat itu, aku ingin menjawab,"Dan aku akan selalu di sini, Bu, menemanimu, dalam suka dan duka, sampai tubuhku tak bisa lagi menahan panasmu."

Hari-hari terus berlalu. Aku semakin tua. Lapisan anti-lengketku sudah tak ada lagi. Setiap kali Bu Sri menggoreng tempe, pasti ada yang menempel dan sulit dibersihkan. Tapi dia tak pernah membuangku. Meskipun ada wajan baru mengilap, ringan, dan tampak lebih “modern” aku tetap jadi yang pertama dia cari saat memasak masakan khas buat keluarganya.

“Wajan yang baru enak buat nggoreng telur, tapi kalau buat oseng-oseng terong balado, tetap kamu juaranya,” katanya sambil tersenyum.Entah kenapa, setiap kali dia berkata begitu, aku merasa hangat. Bukan karena panas kompor, tapi karena… dihargai. Dipilih. Diperlukan.

Suatu malam, dapur sangat sepi. Tak ada bunyi tumisan, tak ada air mendidih. Kompor tetap dingin. Aku menunggu. Hari-hari berikutnya pun begitu. Aku teronggok di pojok lemari bawah, ditumpuk dengan panci lain. Hari-hari yang biasanya ramai kini hanya diisi dengan suara kipas angin yang berdecit dan tikus kecil yang berlari pelan di sudut dapur.Lalu, aku dengar kabar dari bisikan alat-alat dapur lain bahwa Bu Sri sedang dirawat di rumah sakit. Aku tercenung. Selama ini aku melihatnya menahan lelah, mengabaikan rasa sakit, dan tetap memasak demi keluarganya. Tapi tubuhnya ternyata tak bisa dibohongi terus-menerus. Ia tumbang.

Anak-anaknya sesekali datang ke dapur, tapi lebih sering memesan makanan dari luar. Aku merindukan sentuhan tangan Bu Sri. Bahkan kompor pun sepertinya murung, sumbunya mulai kotor dan berdebu.

Hingga suatu sore, aku mendengar suara yang amat kurindukan.“Kamu masih di sini, ya?”Itu suara Bu Sri.Dia belum sepenuhnya pulih, jalannya pelan, tapi dia datang menghampiriku. Mengambilku dengan tangan gemetar, lalu membersihkanku pelan-pelan, dengan sabun dan spons hangat. Ia menatapku seperti menatap sahabat lama.

“Saat aku sakit kemarin, aku baru sadar… hidup ini kayak masak. Ada gosong, ada hambar, ada yang terlalu asin, tapi kita tetap harus coba terus. Terus nyoba, sampai ketemu rasa yang pas.”Lalu, dia mengangkatku, meletakkanku di atas kompor, dan mulai menumis lagi.Bawang merah. Bawang putih. Cabe. Tumisan pertama setelah sekian lama.Dan aku, si wajan tua, kembali bernyawa.Tak sempurna, tapi setia.Mungkin aku tak bisa bertahan selamanya. Mungkin suatu hari aku benar-benar tak bisa digunakan lagi. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku telah menjadi bagian dari hidup seseorang. Dari kisah cinta, duka, dan kekuatan seorang ibu yang luar biasa.Dan selama tubuhku masih bisa menampung satu tumisan terakhir, aku akan terus menemani Bu Sri dengan seluruh panas dan cinta yang kupunya.

Hari-hari kembali berjalan. Tidak secepat dulu, tapi lebih tenang. Dapur kini tak seramai dulu, anak-anak Bu Sri mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Si sulung jarang pulang, si tengah lebih sering mengurung diri di kamar, dan si bungsu ”Wati” masih suka duduk di meja dapur, menggambar sambil mengintip ibunya memasak.

Aku mendengar banyak dari dapur ini. Tentang harga beras yang naik, tentang tetangga yang curhat, tentang impian Bu Sri membuka warung kecil di depan rumah. Mimpi itu lama ia simpan, seperti bumbu dapur yang hanya dipakai saat momen istimewa. Tapi suatu sore, setelah memasak sambal terasi, ia berkata pelan:

“Aku mau jualan, mulai minggu depan. Nasi uduk, nasi kuning, sama gorengan.”

Aku gemetar. Bukan karena panas, tapi karena haru. Itu berarti aku akan kembali sibuk, kembali punya peran. Dan benar saja, sejak hari itu aku bekerja lebih keras dari sebelumnya. Fajar belum menyingsing, Bu Sri sudah menggenggamku, menumis, menggoreng, mencampur bumbu demi bumbu. Nasi uduk harum, bihun goreng manis, ayam bacem gurih, semua melewati tubuhku dulu sebelum sampai ke meja pembeli.

Aku dengar suara-suara baru: suara pembeli, suara tetangga yang tertawa, suara anak-anak kecil memanggil nama Bu Sri dari pagar depan.“Bu, gorengannya satu ribu tiga, ya!”“Bu Sri, nasinya enak banget, kayak masakan rumah nenek.”

Dan saat aku melihat wajah Bu Sri kembali cerah, keringatnya jatuh bukan karena beban, tapi karena semangat. Tangan kasarnya kini kuat menggenggam spatula. Matanya yang dulu redup kini berkilau saat menata dagangan.Waktu terus berjalan, tubuhku kini benar-benar tua. Dasarku sudah tak rata, peganganku hampir lepas. Tapi aku tetap di sini. Wajan baru sudah tiga kali datang dan pergi ada yang retak, ada yang tak kuat panas. Tapi aku… aku tetap bertahan.

Hingga suatu hari, aku mendengar suara yang sangat lembut."Ma, wajannya sudah nggak bisa dipakai…"Itu suara Wati, yang kini sudah tumbuh besar. Ia sedang membantu ibunya masak sambil memandangi tubuhku yang mulai miring.Bu Sri diam. Lama. Ia mengangkatku perlahan, menatapku seolah sedang berbicara dalam hati.

“Wajan ini... sudah nemenin mama dari sebelum kalian lahir. Dari nggak punya apa-apa, sampai bisa jualan kayak sekarang. Gimana ya,Wati… mau dibuang kok rasanya kayak ninggalin sahabat lama.”Wati tersenyum kecil.

“Kalau gitu, kita simpan aja. Buat kenangan.”

Dan akhirnya, aku dibersihkan, dikeringkan, dan diletakkan di rak tinggi di atas lemari dapur. Bukan untuk digunakan lagi, tapi sebagai simbol. Sebagai saksi hidup.Dari atas sini, aku tetap melihat semuanya. Dapur yang makin hidup, keluarga yang makin hangat, dan Bu Sri yang kini berdiri lebih tegap. Dia tidak lagi memasak dalam keheningan dan air mata, tapi dalam tawa dan harapan.Dan aku?

Aku tetap si Wajan setia.Walau tak lagi di atas kompor, aku akan selalu jadi bagian dari cerita mereka.

Sudah berbulan-bulan aku tidak mencium aroma bawang putih. Sudah lama aku tak lagi menyentuh api. Kini, tugasku hanya satu: menjadi saksi dari atas rak tinggi, tempat yang sunyi tapi penuh kenangan.

Dari sini, aku melihat dapur yang dulu sempit kini lebih rapi dan terang. Ada etalase kecil tempat Bu Sri menyusun gorengan dagangannya. Kompor baru telah datang. Wajan-wajan muda menggantikan tugasku. Mereka cekatan, ringan, dan belum tahu rasanya terbakar terlalu lama demi rendang yang empuk.

Tapi tidak apa-apa.Aku sudah melewati semua itu.Pagi-pagi, aku melihat Bu Sri  menyeduh kopi sambil mencatat pesanan. Wati, yang dulu duduk menggambar di pojok dapur, kini sudah membantu mengurus pembukuan warung kecil itu. Kadang, Wati memandangku. Ia tersenyum, seolah berkata, “Masih ada di sini, ya?”Dan aku ingin menjawab,

“Selalu. Selama rumah ini masih berdiri, aku tetap di sini.”Aku tidak iri pada wajan-wajan baru. Tidak pula sedih karena tak lagi menyentuh bumbu. Aku justru merasa... penuh.

Aku telah menjadi bagian dari cerita keluarga ini. Dari nasi goreng sederhana hingga rendang lebaran. Dari tangisan pertama hingga tawa kemenangan.

Dan walaupun kini tubuhku tinggal sisa-sisa logam yang lelah, jiwaku masih hangat setiap kali mendengar tawa Bu Sri, setiap kali mencium aroma nasi uduk yang dulu sering kami buat bersama.Kadang, di malam hari, saat dapur sunyi, aku berbicara dalam hati:

“Terima kasih, Bu Sri. Karena sudah percaya padaku. Karena sudah memilihku. Karena tak membuangku bahkan ketika aku sudah tak sempurna. Karena membuatku merasa berarti, meski hanya sebuah wajan tua.”Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan di sini. Tapi jika suatu saat aku benar-benar dilepas, dipindahkan, atau dibuang…

Aku tidak takut.Karena aku telah meninggalkan jejak, bukan di atas kompor, tapi di hati seorang ibu yang tangguh, dan di ingatan dapur kecil yang penuh cerita.Aku bukan sekadar wajan. Aku adalah kenangan. Dan kenangan tidak pernah mati.

“Kata Hati Si Wajan Tentang Bu Sri"

Ah, Bu Sri…Kalau aku bisa bicara, sudah sejak dulu aku ingin bilang:

"Ibu adalah panas yang membuat aku berarti. Bukan api itu, tapi semangat Ibu, cinta Ibu, yang membuat tubuhku ini mau terus menyala, meski sudah gosong, penyok, dan letih."

Setiap orang yang datang ke dapur ini, hanya melihat aku sebagai alat. Sebongkah logam bulat dengan pegangan kayu yang mulai rapuh. Tapi tidak dengan Ibu.Ibu memperlakukanku seperti kawan. Kadang marah, kadang memelukku dengan minyak yang hangat. Kadang lupa mencuciku sampai esok pagi, tapi keesokan harinya Ibu tetap datang dan membersihkanku sendiri, dengan sabun dan air hangat, sambil bersenandung kecil.

Aku tahu, Ibu bukan hanya memasak untuk mengisi perut. Ibu memasak untuk bertahan. Untuk mencintai. Untuk membesarkan tiga anak. Untuk melupakan air mata, atau justru mencampurnya ke dalam sayur lodeh yang Ibu buat saat hujan turun.

Aku ingin bilang, Ibu itu seperti bumbu rahasia dalam setiap masakan tidak selalu terlihat, tapi rasanya terasa oleh semua yang makan.

Dulu, Ibu menangis saat memasak. Kini, Ibu tersenyum saat berdiri di depan kompor. Dulu, Ibu bicara sendiri karena tak ada yang mau mendengar. Kini, Ibu disapa pelanggan setiap pagi, dihargai karena kelezatan yang lahir dari hatinya.Dan aku aku bersyukur menjadi bagian kecil dari hidup Ibu. Tak banyak yang bisa kuberi, hanya permukaan gosong dan bekas luka api. Tapi Ibu tak pernah buang aku. Bahkan saat wajan-wajan baru datang, aku tetap disayang.

Kalau kelak aku benar-benar tak bisa lagi digunakan, aku tidak takut. Karena aku tahu, aku akan tetap hidup di dalam cerita yang Ibu simpan, di dalam memori anak-anaknya, di dalam aroma tumisan yang mengingatkan pada masa-masa sulit yang berhasil dilewati.“Ibu bukan cuma pemilikku. Ibu adalah pahlawan.”Jika seorang ibu adalah dapur dari sebuah rumah, maka Bu Sri adalah dapur yang penuh kehangatan, kesabaran, dan cinta yang tak pernah gosong, meski dunia terus membakarnya.

Hari itu datang juga.

Pagi dimulai seperti biasa dengan aroma kopi, suara sendok yang beradu di gelas, dan tawa Wati yang kini mulai terbiasa membantu ibunya di dapur. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Suasana hati Bu Sri... terasa berat. Langkahnya lebih pelan, tatapannya lama terpaku ke arah rak tempatku tergeletak.Ia mengangkatku perlahan. Tangannya masih hangat, seperti dulu saat ia pertama kali menyentuhku. Tapi kali ini, ia tidak membawaku ke kompor. Ia hanya menatapku lama. Lalu berkata dengan suara lembut yang nyaris seperti bisikan:“Terima kasih, ya…”Kalimat itu sederhana. Tapi bagiku, itu seperti pelukan terakhir.

Aku tahu, tubuhku sudah tak layak lagi. Dasarku bolong kecil di sisi kiri. Gagangku sudah longgar, sekrupnya berkarat. Setiap sudut tubuhku membawa jejak waktu bekas-bekas kisah yang tak bisa dihapus sabun.

Wati muncul dari belakang.

“Ma, simpan aja wajannya. Udah rusak banget. Kasihan Mama kalau kejatuhan pas bersihin rak.” Bu Sri tersenyum kecil. “Iya, mama tahu. Tapi ini wajan bukan sembarangan, Wati. Ini… teman Mama.”

Aku ingin menangis. Kalau saja aku bisa.Akhirnya, mereka membawaku keluar. Bukan ke dapur, tapi ke halaman belakang, dekat pohon mangga yang rindang. Di sana, ada rak kayu kecil tempat Bu Sri menyimpan pot bunga dan kaleng-kaleng bekas. Dan di sanalah aku diletakkan bersih, tenang, tak lagi menyentuh api.

Dan untuk pertama kalinya… aku melihat matahari.Bukan dari asap dapur atau celah genteng, tapi secara langsung.

Cahayanya hangat. Seperti pelukan perpisahan.

Hari berlalu. Aku tak lagi digunakan. Tapi kadang Wati duduk di dekatku, menyiram bunga sambil bercerita.

“Waktu kecil, aku sering duduk di bawah meja sambil nunggu Mama masak pakai kamu. Aku ingat suara ‘cesss!’-mu, baunya, bahkan bentukmu. Aneh ya… benda bisa begitu akrab.”

Aneh? Tidak, Wati. Aku tidak cuma benda. Aku adalah saksi tumbuhnya keluarga ini. Aku telah merasakan cinta, kehilangan, perjuangan, dan kemenangan.

Dan sekarang, aku siap. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk menjadi kenangan yang dilepas dengan damai.

Di bawah pohon mangga itu, aku beristirahat.Bukan di dapur, tapi di tempat yang tenang.Tidak lagi panas, tapi tetap hangat.Tidak lagi bekerja, tapi tetap berarti.

Karena setiap kisah, meski sudah selesai, tak pernah benar-benar hilang.Selama masih ada yang mengingat,Selama masih ada tawa, air mata, dan rasa yang lahir darinya,

Aku akan selalu hidup… di dalam hati Bu Sri dan Wati.Aku, si Wajan tua, telah menyelesaikan tugasku.Dulu, aku adalah alat. Lalu, aku menjadi sahabat. Kini, aku tinggal kenangan.

Tapi bukan kenangan yang menyedihkan aku adalah bukti bahwa kesetiaan, meski diam dan sederhana, bisa meninggalkan bekas abadi.

Aku tidak lagi dibutuhkan di atas kompor. Tapi namaku disebut dalam cerita. Bentukku dikenang dalam tawa. Dan keberadaanku menjadi lambang dari satu hal:

Cinta yang tidak pernah gosong, meski terus terbakar.Selamat tinggal, dapur kecil.Selamat tinggal, Bu Sri.Selamat tinggal, api, minyak, dan tumisan.Aku tidak benar-benar pergi.Karena selama masih ada satu orang yang mengingatku…Aku akan tetap hidup.

“Kenangan dari Sebuah Wajan” 

Namaku Wati. Dan hari ini aku berdiri di halaman belakang rumah, memandangi sebuah wajan tua yang tergantung di rak kayu tua dekat pohon mangga. Wajan itu… milik Mama. Teman setia Mama.

Dulu, saat aku kecil, aku suka duduk di lantai dapur, kaki bersilang, melihat Mama menumis sambil menyanyi pelan. Dan selalu, wajan itu yang Mama pakai. Bukan wajan baru yang mengkilap, tapi si tua legam yang bunyinya khas setiap kali minyak panas menyambut bawang merah.

Aku tidak tahu bagaimana bisa benda seperti itu menyimpan begitu banyak cerita. Tapi semakin aku tumbuh, semakin aku mengerti: benda tak bernyawa bisa jadi saksi bisu, bisa menyimpan cinta, dan bisa mewakili kenangan yang bahkan sulit kuucapkan.Kini Mama sudah tiada.

Setelah beliau berpulang setahun lalu, banyak barang yang kami sumbangkan, bereskan, rapikan. Tapi wajan itu... tidak bisa kusentuh. Rasanya, seperti jika aku meletakkannya di tempat lain, aku akan menghapus jejak Mama dari rumah ini.

Jadi hari ini, aku memutuskan sesuatu.

Aku menggantungkan wajan itu di dapur warung kecilku. Di atas kompor baru, sebagai penghormatan. Tak kupakai lagi, tapi kupajang seperti medali. Teman-teman bilang itu aneh, tapi aku tersenyum.

“Aku nggak jualan cuma buat untung,” kataku.

“Aku masak pakai cinta. Seperti Mama. Dan wajan itu… yang ngajarin aku.”

Kadang, saat aku menumis sambal, atau menggoreng tahu, aku merasa wajan tua itu masih melihatku. Diam, tapi bangga. Mungkin ia ingin bicara. Mungkin kalau ia bisa berkata-kata, ia akan bilang:

 “Lanjutkan, Wati. Masaklah dengan cinta. Bukan soal bumbu atau minyak, tapi soal hati yang tulus memberi rasa.”Dan setiap kali aku selesai memasak, aku menatap wajan itu, dan dalam hati kujawab:

“Terima kasih sudah menemani Mama… dan sekarang, menjagaku.”

Beberapa tahun telah berlalu sejak wajan tua milik Mama berpindah ke tempat baru bukan di atas kompor, tapi di dinding utama warung kecilku. Di bawahnya, ada tulisan tangan yang kugores dengan spidol permanen:

“Warung Wati Masakan Ibu, dari Dapur Kenangan.”

Warung ini kecil, hanya 4 meja dan satu etalase. Tapi tiap pagi, pengunjung datang bukan sekadar cari makanan. Mereka datang untuk sesuatu yang tak terlihat rasa yang familiar, aroma yang mengingatkan pada rumah, dan sambutan hangat yang Mama dulu ajarkan padaku.

Setiap kali aku masak, aku teringat suara-suara masa lalu. Suara minyak panas, suara Mama menyanyi lirih, suara sendok kayu menghantam sisi wajan. Kini aku yang bersuara, tapi gema masa lalu itu tetap hidup di dalam gerakanku.

Kadang, saat pelanggan duduk sendiri dan berkata pelan,

“Rasanya kayak masakan ibu saya dulu…”

Aku menahan senyum, dan membatin “Itu karena, mungkin... masakan ini bukan dari resep. Tapi dari kenangan.”

Dan wajan tua itu meski hanya tergantung di dinding, diam dan legam seolah ikut tersenyum. Ia tak lagi jadi alat. Ia telah berubah menjadi lambang. Lambang dari cinta yang diwariskan, bukan hanya dihidangkan.

Suatu Sore yang Tenang.Sore itu, saat hujan turun dan warung mulai sepi, seorang anak kecil menunjuk ke arah dinding dan bertanya pada ibunya:

“Bu, itu wajan siapa?”

Sang ibu tertawa kecil, “Itu? Katanya sih, itu wajan ajaib. Wajan yang bisa bikin masakan seenak pelukan.”

Aku tak menanggapi, hanya menunduk sambil membersihkan meja. Tapi di dalam hati, aku berkata:

“Iya. Wajan itu memang ajaib. Ia menyimpan cinta seorang ibu. Dan cinta tak pernah basi.”

Warungku kini tak lagi kecil.Ada dua cabang di kampung sebelah, satu di dekat sekolah, dan satu sedang dibangun dekat pasar. Tapi aku masih berdiri di dapur utama yang lama, yang penuh kenangan, di rumah masa kecilku. Dapur di mana wajan tua itu tergantung seperti foto keluarga.

Setiap kali aku merasa lelah, putus asa, atau ragu aku melihat ke arah wajan itu.Dan entah kenapa, hatiku jadi tenang.Aku pernah tanya pada diriku sendiri,“Kenapa aku masih mempertahankan wajan rusak itu? Kenapa tak dibuang saja?”Lalu aku sadar. Karena itu bukan sekadar wajan. Itu adalah cermin.Cermin dari perjuangan seorang ibu yang tidak pernah menyerah, bahkan saat hidup hanya memberinya satu panci nasi dan setengah botol minyak.Dari wajan itu, aku belajar bahwa:

Tak harus sempurna untuk berguna.Tak harus baru untuk berarti.Tak harus bersinar untuk memberi cahaya.Dan aku mulai menerapkan itu dalam hidupku.

Aku menerima segala kekuranganku. Aku berdamai dengan masa lalu.Aku berhenti mencoba menjadi “sempurna” dan mulai memilih untuk berarti.

Suara Hati Wati:

Kadang, saat malam tiba, aku berdiri sendiri di dapur. Di antara suara jangkrik dan aroma nasi yang masih hangat, aku berbicara dalam hati:

“Wajan tua, kalau saja kau bisa bicara…

Apa kau akan bangga padaku?”

Dan meski tak ada suara, aku merasa jawabannya selalu sama:

“Kau sudah jauh melampaui apa yang kubisa. Tapi kau membawa jiwaku bersamamu.”

Aku sekarang memiliki anak bernama Naya, anak perempuanku. Umurnya baru delapan tahun, tapi sudah suka bermain di dapur, seperti dulu aku saat kecil. Suatu sore, ia menunjuk wajan tua yang tergantung di dinding warung, lalu bertanya:

“Bunda, kenapa Bunda nggak pernah turunin wajan itu? Memangnya itu masih bisa dipakai?”

Aku tersenyum. Lalu duduk di sebelahnya. Sambil menyeka tangan dari sisa adonan, aku berkata: “Wajan itu sudah tua sekali, sayang. Tapi dulu, dia bantu Bunda belajar masak. Dulu, wajan itu punya Nenekmu.”

Naya mengangguk, matanya membulat penuh rasa ingin tahu.

“Nenek? Yang fotonya di rak itu?”

Aku mengangguk. “Iya. Wajan itu teman setia Nenek. Nenek masak buat Ibu pakai wajan itu. Waktu susah, waktu sedih, waktu bahagia, semuanya lewat dari situ."

Aku melihat ke arah wajan. Diam. Legam. Tapi tetap menggantung dengan bangga.

“Wajan itu bukan cuma alat masak,” lanjutku. “Dia adalah saksi cinta seorang ibu. Dan sekarang, dia jadi pengingat buat kita… bahwa segala yang dibuat dengan hati, akan selalu dikenang.”Naya terdiam. Lalu berkata pelan,

“Kalau gitu… nanti aku juga mau punya wajan yang jadi temanku.”

Aku tertawa. “Pasti, Nak. Dan kelak, kamu juga akan punya cerita sendiri. Tapi jangan lupa… wajan sehebat apa pun, tak akan bisa membuat masakan enak kalau tidak ada cinta di dalamnya.”

Waktu yang Terus Bergerak

Tahun demi tahun berlalu.Warungku tak lagi sekadar tempat makan. Ia menjadi tempat orang-orang datang untuk bernostalgia. Ada pelanggan yang dulu kecil, kini sudah bawa anak. Ada yang dulu hanya lewat, kini duduk lama dan bercerita tentang masa lalu.

Dan wajan tua itu… masih tergantung di sana. Tidak dipoles, tidak dicat. Dibiarkan seperti apa adanya: penuh bekas, tapi penuh makna.Di bawahnya kini tergantung papan kayu kecil bertuliskan:

“Cinta itu seperti masakan harus sabar, harus hangat, dan jangan takut gosong, karena dari situlah rasa muncul.”From Bu Sri, Ibu dari Wati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar