Judul: Kucing Belang yang Tak Pulang
Pukul lima pagi, langit masih gelap dan embun masih menggantung di dedaunan halaman. Suara burung pun belum ramai terdengar. Di dalam sebuah rumah sederhana yang hangat, Bu Rini terbangun lebih awal dari biasanya. Seperti kebiasaannya setiap pagi, ia membuka tirai jendela dan langsung menatap ke halaman belakang tempat favorit si Belang, kucing kesayangannya, biasanya duduk santai sambil menjilati bulunya.
Namun pagi itu terasa berbeda.
Ia menunggu... dan menunggu... tapi tak ada suara langkah kecil atau denting lonceng kecil di leher Belang yang biasanya menyambutnya. Hati Bu Rini mulai gelisah.
"Belang…?" panggilnya pelan sambil membuka pintu belakang. Dingin pagi langsung menyergap tubuhnya, tapi ia tidak peduli. Matanya menyapu setiap sudut halaman, berharap melihat si kucing berlari kecil dari balik semak-semak. Tapi tak ada.
Biasanya, Belang tak pernah pergi lebih dari malam hari. Ia kucing rumahan yang hanya suka bermain di sekitar rumah dan selalu pulang saat malam menjelang. Pukul lima pagi seharusnya Belang sudah meringkuk manja di keset depan pintu atau duduk di dapur menunggu susu hangat.
Bu Rini mulai panik. Ia menyusuri dapur, teras depan, bahkan memeriksa kolong lemari. Tetap tak ada jejak Belang.
“Jangan-jangan dia terkunci di gudang semalam?” pikirnya cemas. Ia segera menuju gudang kecil di samping rumah, membuka pintu yang berderit pelan. Tapi ruang itu kosong. Sunyi.
Hati Bu Rini makin tak tenang. Ia menggigit bibirnya, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai tumbuh. Sambil menyiapkan air hangat, matanya terus melirik ke jendela. “Belang, kamu di mana, Nak…?”
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Dan rumah pun terasa lebih sepi, tanpa si Belang yang biasa menghangatkan pagi-pagi Bu Rini dengan suara manja dan matanya yang bersinar.
Bu Rini duduk di kursi dapur sambil memegang cangkir teh yang mulai mendingin. Pandangannya kosong, pikirannya melayang ke mana-mana. Tak biasanya ia merasa sesedih ini hanya karena seekor kucing belum pulang. Tapi Belang bukan hanya kucing. Ia sudah seperti keluarga teman bercerita saat malam, penghibur di saat sepi.
Pukul enam pagi, langit mulai terang. Cahaya mentari perlahan menyusup lewat celah jendela, menghangatkan ubin dingin dan dinding rumah. Bu Rini tak tahan lagi. Ia mengambil jaket tipis, lalu keluar rumah sambil membawa kantong berisi makanan kucing kesukaan Belang ikan asin kering yang selalu membuat si belang melompat kegirangan.
Sambil berjalan di sepanjang gang sempit depan rumah, ia memanggil lirih,
"Belang... Belang... pulang ya Nak…"
Tetangganya, Pak Surip yang sedang menyapu halaman, melihat Bu Rini dan tersenyum kecil.
“Nyari Belang, Bu?” tanyanya ramah.
Bu Rini mengangguk cemas. “Iya, Pak. Semalam belum pulang. Biasanya nggak pernah begini.”
Pak Surip tampak berpikir sejenak. “Tadi malam sempat lihat kucing loreng duduk di dekat warung Bu Marni, kayaknya mirip Belang deh. Tapi pas saya deketin, langsung lari ke arah kebun belakang.”
“Ya Allah, masa iya sampai ke sana?” Bu Rini langsung menoleh ke arah kebun kosong di belakang deretan rumah tempat yang jarang sekali ia kunjungi, gelap dan penuh semak.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat ke sana, sambil terus memanggil.
“Belang... pulang ya, Nak. Ibu khawatir…”
Hati Bu Rini makin gelisah saat memasuki kebun kecil itu. Ranting-ranting dan daun kering berserakan di tanah. Suara dedaunan bergesek ditiup angin terdengar menyeramkan. Tapi di tengah kecemasan itu, tiba-tiba...
“Meoong…”
Sebuah suara lirih, lemah… tapi sangat dikenalnya.
Bu Rini berbalik cepat, matanya mencari sumber suara. Di balik tumpukan pot kayu tua, muncullah kepala kecil dengan bulu loreng yang kotor dan sedikit basah. Mata itu… mata yang selalu menatap penuh kasih padanya.
“Belang!” seru Bu Rini lega, air matanya mengalir pelan.
Belang berjalan tertatih, tampaknya terluka ringan di kakinya. Mungkin ia terjatuh atau terjebak semalam. Tanpa pikir panjang, Bu Rini mengangkat tubuh kecil itu dan memeluknya erat.
“Ssst… nggak apa-apa, Nak. Ibu di sini. Ayo kita pulang…”
Dan pagi itu, meskipun sederhana, terasa begitu hangat dan penuh cinta. Belang kembali. Rumah kembali lengkap.Hari itu, setelah berhasil menemukan Belang di kebun belakang dalam keadaan lemas dan sedikit terluka, Bu Rini segera membawanya pulang. Ia menaruh Belang dengan hati-hati di atas selimut kecil kesayangannya, lalu mengambil baskom berisi air hangat dan handuk bersih. Dengan penuh kasih, ia membersihkan bulu Belang yang kotor dan basah.
Belang hanya bisa mengeong pelan, seolah berkata, “Maaf, Bu… aku bikin Ibu khawatir.”
Bu Rini tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca. “Kamu ngapain sih sampai ke kebun sana? Kalau kenapa-kenapa, Ibu bisa sedih banget, tahu nggak?”
Setelah membersihkan tubuh Belang, Bu Rini menyuapinya sedikit demi sedikit dengan ikan kesukaannya. Belang tampak lapar, tapi ia makan dengan perlahan. Tubuhnya masih lemah.
“Kayaknya kamu perlu istirahat dulu, ya,” ucap Bu Rini sambil membelai kepala kucingnya.
Hari itu, Bu Rini tak kemana-mana. Ia duduk di samping Belang, menjahit baju sambil sesekali menatap kucingnya yang tidur pulas. Tak jarang ia bicara sendiri, mengobrol dengan Belang seakan ia mengerti semua kata-kata itu.
Saat sore tiba dan langit mulai menguning, anak-anak tetangga yang biasanya bermain di halaman mulai berdatangan.
“Bu Rini! Belang udah ketemu?” tanya Rika, anak kecil yang sering bermain dengan si kucing.
“Udah, Alhamdulillah. Ketemu di kebun belakang. Kayaknya dia nyasar atau kakinya keseleo,” jawab Bu Rini sambil tersenyum.
Mereka semua ikut melihat ke dalam rumah, melihat Belang yang sedang tidur lelap di atas bantal. Mereka senang Belang sudah kembali, karena bagi mereka, Belang bukan hanya peliharaan Bu Rini tapi juga kucing kampung yang disayang bersama.
Malam harinya, suasana rumah terasa kembali hangat. Belang mulai bisa bangkit pelan-pelan dan berjalan dengan perlahan, meski masih sedikit pincang. Bu Rini mengikuti dari belakang, memastikan ia tidak kesakitan. Saat Belang akhirnya meringkuk di pangkuan Bu Rini, ia mengeong pelan.
“Meong…”
“Hihi… iya, iya. Ibu ngerti. Besok-besok jangan pergi jauh-jauh lagi, ya,” bisik Bu Rini lembut.
Dan malam itu, mereka tidur bersama di ruang tengah. Hati Bu Rini akhirnya tenang, dan Belang pun merasa aman di rumah yang selalu menunggu kepulangannya.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk pelan lewat celah jendela ruang tengah. Belang sudah bangun lebih dulu, duduk diam di dekat kaki Bu Rini yang masih tertidur di atas tikar. Matanya mengamati sekeliling rumah, seakan ingin memastikan bahwa ia benar-benar telah kembali ke tempat yang aman dan penuh kasih.
Begitu Bu Rini terbangun dan melihat Belang menatapnya dengan mata bulat yang lembut, senyumnya langsung merekah.
“Pagi, Nak… kamu udah segar, ya?” katanya sambil mengusap kepala Belang.
Belang menjilat tangannya, lalu meringkuk di dekat pelukannya. Hangat dan damai.
Beberapa hari berikutnya, Belang benar-benar menjadi pusat perhatian. Anak-anak kampung sering datang membawa makanan kecil, dan beberapa tetangga bahkan ikut menjenguk, menanyakan kabar Belang. Bu Rini senang melihat perhatian yang diberikan kepada si kucingnya.
Namun, dari peristiwa itu, Bu Rini mulai belajar sesuatu: bahwa meski Belang adalah kucing rumahan yang jinak, ia tetaplah makhluk hidup yang punya rasa ingin tahu dan naluri menjelajah. Ia tak bisa terus dikekang, tapi ia juga tak bisa dibiarkan terlalu bebas.
Akhirnya, Bu Rini membuat satu keputusan kecil.
Ia mulai membuat kandang kecil terbuka di dekat taman belakang. Tempat itu dilengkapi bantal, mainan kucing, dan ruang untuk berteduh. Belang bisa bebas bermain di luar, namun tetap punya batasan. Setiap pagi, Bu Rini akan membuka pintu kecil kandang itu, dan setiap sore, Belang selalu kembali sendiri ke dalam.
Dan yang paling penting setiap malam, Belang tetap tidur di samping Bu Rini, di atas bantal empuk dengan aroma selimut yang ia kenali sejak kecil.
Dari kejadian itu, Bu Rini juga belajar arti kehilangan sejenak. Kadang, hal-hal yang kita sayangi baru terasa penting saat mereka menghilang walau sebentar. Tapi saat mereka kembali, rasa syukur dan bahagia itu terasa jauh lebih besar dari sebelumnya.
Belang pun seolah mengerti. Sejak saat itu, ia tak pernah jauh-jauh lagi. Ia selalu pulang. Selalu kembali. Karena ia tahu, di rumah itu ada seseorang yang selalu menunggunya... dengan hati yang penuh cinta.
Hari-hari berlalu, dan Belang benar-benar pulih. Luka di kakinya perlahan mengering, bulunya kembali bersih dan lembut berkat perawatan Bu Rini. Tapi sejak kejadian itu, hubungan mereka jadi terasa berbeda lebih dekat, lebih hangat. Belang semakin sering menempel di kaki Bu Rini, mengikuti ke mana pun ia pergi, seolah tak ingin terpisah lagi.
Bu Rini pun mulai menyadari, bahwa selama ini, Belang telah menjadi penyembuh diam-diam dalam hidupnya. Saat ia sendiri, saat rindu anak-anaknya yang kini tinggal jauh, Belang selalu ada. Saat malam-malam terasa sunyi, hanya suara dengkuran kecil Belang yang menemaninya. Dan kini, rasa kehilangan yang sempat ia rasakan membuatnya makin menghargai kehadiran si kecil berbulu itu.
Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Bu Rini duduk di bangku taman sambil memangku Belang. Ia berbicara pelan, meski tahu Belang mungkin tidak memahami semua kata-kata manusia.
“Kamu tahu, Belang… waktu kamu nggak pulang itu, rasanya seperti ada bagian hati Ibu yang ikut hilang. Rumah ini sepi banget tanpa kamu. Tapi Alhamdulillah, kamu pulang. Dan kamu sehat.”
Belang mengeong pelan, lalu menyandarkan kepalanya ke tangan Bu Rini.
Sejak itu, Bu Rini mulai rutin menulis catatan kecil di buku harian tuanya. Ia menuliskan cerita tentang Belang, tentang kebersamaan mereka, tentang ketakutannya kehilangan, dan tentang rasa syukur karena si belang selalu memilih pulang.
Sampai suatu hari, Rika anak tetangga yang paling sering main ke rumah melihat buku itu dan berkata,
“Bu Rini, ceritanya lucu dan sedih juga, lho. Harusnya Ibu tulis jadi buku! Aku mau baca!”
Bu Rini tertawa kecil. “Ah, ini cuma tulisan Ibu aja, Nak.”
“Tapi bagus, Bu. Pasti banyak yang suka cerita tentang Belang.”
Dan sejak saat itu, terbersit di hati Bu Rini keinginan untuk membagikan kisah mereka. Kisah sederhana, tapi penuh makna. Tentang seekor kucing yang sempat hilang, tapi akhirnya kembali. Tentang cinta, kehilangan, dan pulangnya sesuatu yang berharga.
Karena kadang, cerita paling menyentuh bukan tentang hal-hal besar, tapi tentang hal-hal kecil yang mengisi hari-hari kita… seperti seekor kucing belang yang selalu tahu jalan pulang.
Hari demi hari terus berjalan. Belang sudah sepenuhnya pulih dan kembali lincah, tapi kini ada yang berbeda dari sikapnya. Ia jadi lebih tenang, lebih sering duduk diam di dekat Bu Rini, seolah tak mau kehilangan satu detik pun bersamanya. Setiap kali Bu Rini menyapu halaman, Belang akan ikut duduk di bawah bangku, mengawasi. Setiap kali Bu Rini duduk menjahit di teras, Belang akan rebah di pangkuannya, mendengkur pelan.
Tetangga-tetangga pun mulai menyebut Belang dengan julukan baru: “Penjaga Ibu Rini.”
“Ibu ke mana, pasti si Belang ikut,” celetuk Pak Surip sambil tertawa.
“Iya, kayak bodyguard berbulu,” sambung Bu Marni.
Bu Rini hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu, itu bukan sekadar ikut itu adalah bentuk cinta diam-diam yang hanya bisa dirasakan lewat kehadiran.
Suatu malam, ketika listrik mati dan kampung jadi gelap gulita, Bu Rini duduk di ruang tengah hanya ditemani cahaya lilin. Suasana sunyi, tak ada suara televisi atau radio. Tapi di sisi kakinya, Belang meringkuk tenang.
Bu Rini membelai bulunya sambil berkata,
“Kalau kamu nggak ada malam ini, mungkin Ibu akan merasa sangat sendiri.”
Belang mengeong pelan, lalu menaikkan kepalanya ke pangkuan Bu Rini, seperti menjawab, “Aku di sini, Bu.”
Malam itu, di tengah gelap dan sunyi, Bu Rini kembali menulis di buku hariannya:
“Belang tidak bicara, tapi ia mengerti. Ia tahu kapan Ibu butuh ditemani, kapan Ibu sedih, dan kapan Ibu diam tapi hatinya ramai. Tuhan mengirim Belang bukan hanya sebagai kucing. Tapi sebagai pengisi ruang-ruang kosong di hati.”
Tak lama kemudian, cucu Bu Rini dari luar kota datang berkunjung. Anak kecil itu tertawa-tawa melihat Belang, memeluk dan bermain dengannya.
“Ini kucing nenek yang dulu hilang itu, ya?” katanya polos.
Bu Rini mengangguk. “Iya, Nak. Tapi sekarang, dia selalu pulang.”
Sang cucu mengelus kepala Belang, lalu berkata,
“Nanti aku cerita ke teman-temanku… aku punya nenek yang punya kucing pemberani. Namanya Belang.”
Dan Belang… si kucing loreng yang pernah hilang, kini hidup bukan hanya di rumah Bu Rini, tapi juga di cerita cucunya. Di buku harian. Di obrolan tetangga. Dan yang paling penting: di hati orang-orang yang mencintainya.
Tahun-tahun pun berlalu.
Belang tak lagi lincah seperti dulu. Bulu lorengnya mulai menipis di beberapa bagian, geraknya tak secepat saat ia masih muda, dan kini ia lebih sering tidur panjang di dekat jendela tempat cahaya matahari jatuh hangat ke lantai. Namun satu hal tak berubah matanya. Tatapan lembut dan penuh pengertian itu masih sama seperti dulu, saat ia pertama kali datang ke rumah Bu Rini sebagai anak kucing kecil yang kelaparan.
Bu Rini pun semakin menua. Rambutnya telah sepenuhnya memutih, tapi senyumannya tetap lembut setiap kali menatap Belang. Tak ada lagi rutinitas terburu-buru. Hari-harinya tenang, diisi dengan membaca, menjahit, menulis, dan tentunya... duduk di samping Belang.
Suatu pagi yang sepi, Bu Rini menulis kembali di buku hariannya. Tulisan itu berbeda dari sebelumnya lebih dalam, lebih lirih.
“Kalau suatu hari nanti Belang harus pergi... Ibu akan ikhlas. Karena kamu sudah memberikan terlalu banyak cinta untuk Ibu. Kamu datang di saat Ibu sepi, dan kamu tetap di sini saat Ibu melewati masa-masa tua. Kamu bukan hanya kucing. Kamu sahabat. Penjaga. Dan bagian dari jiwa Ibu.”
Beberapa bulan setelah tulisan itu, Belang mulai sering tidur lebih lama dari biasanya. Nafasnya pelan, tubuhnya hangat tapi lemah. Bu Rini tahu... waktunya hampir tiba. Ia tak menjerit, tak menangis, hanya duduk di sisi Belang sambil mengelus pelan kepala sahabat kecilnya.
Dan suatu malam, ketika hujan turun rintik-rintik di luar, Belang pergi. Dalam tidurnya. Tenang. Damai. Di pangkuan Bu Rini.
Tanpa suara. Tanpa tangisan. Hanya keheningan yang dipenuhi kenangan.
Keesokan harinya, Bu Rini mengubur Belang di bawah pohon mangga di taman belakang. Tempat favoritnya tidur saat siang hari. Ia menanam bunga kecil di atas pusaranya, lalu menancapkan papan kayu kecil bertuliskan:
"Belang Kucing yang Selalu Pulang"
Tetangga-tetangga ikut datang. Rika yang kini sudah remaja menangis pelan. Cucu Bu Rini datang membawa gambar kecil lukisan sederhana tentang nenek dan seekor kucing loreng yang tidur di pangkuan.
Meski Belang telah pergi, kisahnya tetap hidup. Di buku harian Bu Rini. Di cerita anak-anak. Di ingatan yang tidak lekang oleh waktu.
Dan setiap pagi, ketika matahari menyinari halaman, Bu Rini tersenyum pelan sambil menatap ke bawah pohon mangga.
“Pulang yang tenang ya, Nak. Terima kasih sudah pernah pulang ke Ibu.”
Setelah kepergian Belang, rumah Bu Rini memang terasa lebih sunyi. Tidak ada lagi suara langkah kecil di pagi hari, tidak ada dengkuran lembut saat sore, dan tak ada mata bulat yang menatap penuh perhatian ketika ia duduk diam sendirian. Tapi anehnya, Bu Rini tidak merasa kehilangan sepenuhnya. Karena kehadiran Belang sudah melekat dalam setiap sudut rumah, dalam setiap kenangan, dan dalam setiap halaman buku hariannya.
Beberapa minggu setelah itu, Rika kembali berkunjung.
“Bu, aku bikin tugas sekolah tentang hewan peliharaan yang paling berkesan. Aku cerita tentang Belang. Guru sampai nangis, lho,” katanya sambil tertawa kecil.
Bu Rini tersenyum haru. “Belang memang luar biasa. Padahal cuma kucing, ya. Tapi banyak yang sayang.”
Tak lama setelah itu, salah satu cucu Bu Rini, Adit, membawakan kejutan: sebuah buku kecil yang sudah dijilid rapi. Di sampulnya tertulis:
“Kisah Kucing yang Selalu Pulang: Cerita tentang Belang dan Bu Rini”
Ditulis oleh: Rini dan Keluarga
Ternyata, Adit telah diam-diam mengetik ulang semua tulisan tangan Bu Rini dari buku harian. Ia menambahkan ilustrasi sederhana dan cerita-cerita dari tetangga tentang Belang. Ia mencetaknya dan membagikan salinan kecilnya ke anak-anak kampung.
Tak disangka, buku itu mulai tersebar ke sekolah-sekolah lokal sebagai bacaan moral dan kasih sayang terhadap hewan. Beberapa guru bahkan mengundang Bu Rini untuk bercerita langsung tentang Belang di depan kelas.
Di usia tuanya, Bu Rini tak pernah menyangka kisah sederhana antara dirinya dan seekor kucing bisa menyentuh begitu banyak hati. Tapi ia tahu, itu bukan hanya soal kucing itu tentang cinta, tentang kesetiaan, dan tentang pulang.
Suatu hari, di hadapan anak-anak sekolah dasar, Bu Rini menutup ceritanya dengan kalimat ini:
“Kadang cinta datang dalam bentuk yang tidak kita sangka. Seperti seekor kucing kecil bernama Belang. Ia tidak bisa bicara, tapi ia mengajarkan Ibu banyak hal: tentang setia, tentang sabar, dan bahwa rumah bukan soal bangunan… tapi tentang siapa yang menunggu di dalamnya.”
Anak-anak tepuk tangan. Beberapa tersenyum, beberapa menitikkan air mata.
Dan Bu Rini pun tahu, meski Belang sudah tiada, kisahnya tak pernah benar-benar berakhir. Ia telah menjadi bagian dari banyak hati kecil seperti dulu ia menjadi bagian dari hatinya.
Sejak buku kecil tentang Belang mulai tersebar, rumah Bu Rini tak pernah benar-benar sepi lagi. Anak-anak datang silih berganti, beberapa membawa gambar kucing buatan mereka, ada juga yang datang hanya untuk mendengarkan Bu Rini bercerita ulang tentang Belang. Rumah tua itu kini terasa hidup seperti dulu saat Belang masih sering melompat-lompat di jendela.
Setiap sore, Bu Rini duduk di bangku taman, tempat favoritnya dan Belang dahulu. Kini ia tak sendiri, selalu ada anak-anak kecil di sekelilingnya, duduk bersila, mendengarkan. Kadang mereka membacakan bagian dari buku yang ditulis cucunya. Kadang mereka bertanya, “Bu, Belang itu tahu nggak kalau dia disayang banyak orang?”
Dan Bu Rini akan tersenyum, menjawab,
“Tahu, Nak. Belang tahu. Karena dia pernah bilang dengan caranya sendiri lewat tatapan, lewat pelukan diamnya, lewat caranya pulang tanpa diminta.”
Di ruang tengah rumahnya, Bu Rini membuat pojok kecil yang ia sebut "Sudut Belang". Ada foto Belang dalam bingkai kayu, semangkuk kosong yang dulu biasa digunakan, dan bunga segar yang selalu diganti setiap minggu. Di sampingnya, ia menaruh semua surat kecil, gambar, dan catatan dari anak-anak yang mengenang Belang.
Cucu-cucu Bu Rini yang lain pun mulai tertarik menulis. Salah satu cucunya yang remaja bahkan berkata,
“Nek, kalau aku besar nanti, aku mau bikin cerita tentang kucing juga. Tapi dari sudut pandang si kucing. Pasti seru.”
Bu Rini tertawa. “Wah, pasti lucu itu. Mungkin Belang akan senang lihat ceritanya.”
Dan begitulah...
Belang mungkin sudah tidak ada secara fisik, tapi jejaknya begitu dalam. Ia bukan hanya pernah hidup, tapi telah meninggalkan warisan cinta:
Cinta antara manusia dan hewan.
Cinta yang diam tapi tulus.
Cinta yang tahu jalan pulang, meski tidak diucapkan dengan kata-kata.
Suatu malam, saat hujan rintik-rintik turun seperti malam saat Belang pergi, Bu Rini menatap jendela.
Ia tersenyum pelan. Lalu berbisik:
“Kalau nanti giliran Ibu pulang... semoga kamu yang menyambut Ibu ya, Nak. Di ujung jalan, dengan ekor bergoyang, seperti dulu saat kamu kecil.”
Di luar, suara angin mengayun dedaunan pohon mangga.
Dan entah mengapa, Bu Rini merasa… Belang mendengar.
Beberapa bulan setelah buku tentang Belang tersebar, suatu malam Bu Rini duduk sendiri di ruang tamu. Hujan turun rintik-rintik seperti biasa. Di atas meja, tergeletak sebuah surat tua yang belum selesai ditulis. Itu bukan surat untuk siapa-siapa secara khusus… tapi lebih seperti surat untuk langit dan untuk seekor kucing kecil yang telah mengisi hatinya selama bertahun-tahun.
Dengan tangan bergetar dan cahaya lampu yang temaram, Bu Rini melanjutkan tulisannya…
Untuk Belang, kucing kecil Ibu yang selalu pulang…
Nak,
Entah di mana kamu sekarang. Tapi Ibu percaya, kamu baik-baik saja. Mungkin kamu sedang duduk di bawah cahaya langit, atau berlari-lari di taman bunga yang lebih luas dari taman belakang kita.
Waktu kamu datang ke rumah, kamu kecil dan lapar. Tapi entah bagaimana, kamu mengisi kekosongan yang bahkan Ibu sendiri tak sadar sedang ada. Kamu tidak pernah bicara, tapi kamu mengerti. Kamu tidak pernah memeluk, tapi kehadiranmu membuat hati Ibu hangat.
Saat kamu sempat hilang, Ibu seperti kehilangan bagian dari hidup. Tapi waktu kamu pulang, kamu ajarkan sesuatu: bahwa cinta sejati selalu menemukan jalan untuk kembali.
Nak,
Sekarang Ibu sudah semakin tua. Rambut ini sudah putih semua. Tapi setiap kali Ibu duduk di bangku taman, Ibu merasa kamu masih ada di bawahnya, menjilati kaki Ibu dengan santai. Saat malam datang dan Ibu menatap bintang, Ibu membayangkan kamu duduk di sisi sana mengawasi dari kejauhan.
Dan saat tiba waktunya Ibu pergi, jangan cemas. Ibu nggak takut. Karena Ibu percaya… kamu akan datang menjemput. Seperti dulu. Seperti saat kamu mengeong pelan dan berjalan ke pelukan Ibu.
Terima kasih ya, Nak. Kamu bukan hanya kucing. Kamu bagian dari jiwa Ibu.
Dengan cinta tak berujung,
Ibumu, yang selalu menunggumu pulang.
Setelah menulis itu, Bu Rini melipat suratnya dan menyimpannya di dalam buku harian, di halaman terakhir. Ia tidak menangis. Ia hanya diam… dan tersenyum.
Karena kini ia tahu: kisah mereka mungkin telah selesai di dunia, tapi akan terus hidup di hati-hati yang membaca, mengenang, dan mencintai.
Dan pada malam itu juga, Bu Rini memejamkan mata dalam tenang. Dalam tidurnya, senyum masih menghiasi wajahnya. Seolah… Belang memang benar-benar datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar