Rabu, 25 Juni 2025

Enam Bulan Dalam Diam



Judul: Enam Bulan dalam Diam

Sudah enam bulan berlalu sejak hatiku mulai terasa beku. Bukan karena tak ada cinta, tapi karena cinta yang dulu pernah ada, perlahan menguap entah ke mana. Aku dan suamiku kini hidup seperti dua orang asing di bawah satu atap. Kami masih bicara  seperlunya. Kami masih makan bersama  kadang. Tapi tak ada lagi tawa, tak ada lagi genggaman tangan yang menguatkan. Hanya sunyi dan rutinitas yang mendominasi hari-hari kami.

Awalnya aku mencoba bertahan, berharap ini hanya fase. Tapi setiap pagi yang kulewati, rasa hampa itu makin nyata. Tidur di ranjang yang sama, tapi hatiku terasa sendiri. Tatapan matanya padaku tak lagi hangat. Bahkan ketika aku sakit beberapa waktu lalu, perhatiannya hanya sekilas, seperti kewajiban, bukan kepedulian.

Dan di tengah kehampaan itu, masalah ekonomi datang seperti badai. Penghasilan suamiku tak cukup menutup kebutuhan bulanan. Aku pun mulai berjualan kecil-kecilan dari rumah. Tapi hasilnya tak seberapa. Utang pun mulai menumpuk. Kami sering bertengkar soal uang, soal siapa yang lebih banyak berkorban. Aku merasa lelah  bukan hanya lelah fisik, tapi juga lelah batin.

Aku pernah menangis diam-diam, malam-malam setelah ia tidur. Bertanya pada Tuhan, "Masih adakah cinta di antara kami? Atau aku hanya bertahan karena takut sendirian?" Rasanya hidupku terjebak dalam lorong gelap yang tak ada ujung. Bahkan doa pun kadang terasa hampa seperti dikirim ke langit tanpa balasan.

Namun di sela-sela kehampaan, aku mulai mengenal diriku sendiri. Aku mulai belajar memeluk rasa sakitku tanpa malu. Aku mulai menulis, membaca, dan mencoba mencari cahaya kecil di antara kelabu. Mungkin belum ada jawaban, tapi aku tahu aku masih punya kekuatan untuk bertahan atau bila perlu, untuk memilih jalan yang lebih baik bagi diriku sendiri.

Enam bulan ini bukan waktu yang mudah. Tapi aku tahu, ini adalah bagian dari proses. Apakah akan terus seperti ini? Aku belum tahu. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin jujur pada diriku: bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.


Aku mulai menyadari sesuatu: aku tidak bisa terus hidup hanya dengan berharap orang lain berubah. Harapanku pada suamiku agar lebih peduli, lebih mengerti, lebih hadir sudah terlalu lama kutanam, tapi tak pernah benar-benar tumbuh. Maka aku mulai menoleh ke arah lain: ke dalam diriku sendiri.

Suatu sore, aku duduk sendiri di beranda rumah, memandangi langit yang mendung. Aku ingat betul hari itu aku merasa sangat kosong, nyaris seperti tak ada lagi alasan untuk tersenyum. Tapi justru di sanalah, di titik paling rendah itulah, aku bertanya pada diriku: "Kalau aku menyerah, siapa yang akan menyelamatkanku?"

Hari-hari berikutnya, aku mulai melakukan hal kecil untuk diriku sendiri. Aku bangun lebih pagi, menulis jurnal, dan mulai mengikuti kelas daring gratis tentang keterampilan yang bisa kupelajari dari rumah. Bukan untuk membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, tapi hanya untuk membangunkan kembali rasa berharga dalam diriku yang sudah lama tertidur.

Aku pun mulai lebih jujur pada suamiku. Suatu malam, saat suasana cukup tenang, aku memberanikan diri berkata:

"Aku lelah. Bukan hanya karena uang, tapi karena kita seperti tidak hidup bersama. Aku ingin kita bicara… benar-benar bicara, bukan hanya soal tagihan atau makan malam."

Dia terdiam. Lama. Tapi untuk pertama kalinya, aku melihat raut lelah yang sama di wajahnya. Mungkin selama ini dia juga berjuang dalam diam, tapi tidak tahu caranya mengungkapkan. Kami akhirnya bicara pelan, patah-patah, kadang dengan air mata, kadang dengan amarah. Tapi kami bicara.

Itu belum membuat semuanya langsung membaik. Tapi malam itu menjadi awal dari perubahan kecil. Kami sepakat untuk saling jujur, untuk mulai dari nol jika perlu. Ekonomi kami masih berat, tapi setidaknya aku tak merasa sendirian menanggungnya. Ia mulai ikut membantuku berjualan, sesekali bertanya bagaimana perasaanku hari itu. Hal sederhana tapi dulu sangat langka.

Aku belajar bahwa cinta itu bukan selalu soal bunga atau rayuan, tapi keberanian untuk tetap hadir dan berusaha meski sudah tak sesempurna dulu. Namun aku juga sadar, kalau suatu saat nanti aku harus pergi untuk menyelamatkan diriku, aku akan pergi dengan kepala tegak karena aku sudah mencoba dengan sepenuh hati.

Enam bulan ini mengajarkanku banyak hal. Tentang sabar. Tentang kecewa. Tentang cinta yang bisa hilang… atau bisa tumbuh kembali jika dipupuk bersama. Tapi yang paling penting: aku belajar mencintai diriku sendiri.

Aku tak tahu seperti apa masa depanku. Tapi aku tahu, aku akan baik-baik saja. Entah tetap bersamanya, atau melanjutkan hidup sendiri, aku tidak lagi hampa. Karena sekarang aku tahu satu hal: hidup ini terlalu berharga untuk dijalani tanpa perasaan.

Kini, setelah melewati enam bulan yang berat itu, aku merasa seperti seseorang yang baru saja keluar dari lorong gelap. Masih ada sisa-sisa luka, tapi aku tidak lagi berdarah. Aku belajar berjalan lagi pelan, tapi pasti.

Hubunganku dengan suami belum sepenuhnya pulih. Kadang kami masih berdebat, kadang masih diam-diaman. Tapi ada bedanya: aku tidak lagi menyimpan semuanya sendiri. Jika aku sedih, aku bicara. Jika dia lelah, aku dengarkan. Dan jika hari itu buruk, kami tidak lagi saling menyalahkan, tapi belajar menenangkan.

Tapi yang paling berubah adalah aku. Dulu aku merasa harus selalu kuat demi rumah tangga ini. Sekarang, aku tahu bahwa menjadi kuat bukan berarti terus bertahan dalam luka, tapi berani mengambil langkah meski menakutkan demi menyelamatkan diriku sendiri.

Aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam rasa mati rasa. Aku kembali menikmati secangkir kopi di pagi hari. Aku tertawa kecil saat menonton video lucu. Aku belajar mengatakan “tidak” tanpa merasa bersalah. Dan aku tak lagi menanti kebahagiaan datang dari orang lain. Aku menciptakannya sendiri sedikit demi sedikit.

Apakah aku akan tetap bersama suamiku? Mungkin, jika cinta itu memang masih bisa diselamatkan. Tapi jika tidak, aku akan tahu kapan harus pergi, bukan karena menyerah… tapi karena akhirnya aku menghargai diriku sendiri.

Aku bukan wanita sempurna. Aku bukan istri yang selalu tahu harus bagaimana. Tapi aku manusia. Aku punya batas. Dan sekarang, aku tahu: tidak apa-apa memilih diriku sendiri.

 “Terima kasih, karena kamu tetap berdiri.

Terima kasih, karena kamu tidak menyerah saat dunia terasa dingin.

Kamu tidak harus kuat setiap hari, tapi kamu cukup kuat untuk sampai di sini.

Mulai hari ini… jangan lupa, kamu juga layak bahagia.”


Setelah sekian lama hidup dalam diam dan bertahan dalam luka, aku mulai bangkit  bukan karena semuanya sudah membaik, tapi karena aku lelah merasa tidak hidup.

Aku mulai membuat rutinitas kecil untuk diriku sendiri. Bangun sebelum matahari terbit, duduk diam dengan secangkir teh, memejamkan mata, dan bernapas dalam-dalam. Hanya itu. Tapi anehnya, ketenangan sederhana itu perlahan menjahit luka-luka batin yang selama ini kusimpan sendiri.

Aku menuliskan isi hatiku setiap malam bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk mengingat bahwa aku pernah terluka, pernah hancur, tapi tidak pernah benar-benar hancur sepenuhnya. Di balik luka-luka itu, aku masih hidup. Masih ada hati yang berdetak, masih ada cahaya kecil yang menyala.

Aku mulai belajar keterampilan baru. Aku mengikuti kelas menjahit online, bukan untuk jadi kaya, tapi hanya untuk merasa bahwa aku bisa menciptakan sesuatu. Aku mulai menjual hasil jahitanku secara perlahan. Bukan hanya sebagai tambahan penghasilan, tapi juga sebagai bentuk penghargaan pada diri sendiri: bahwa aku mampu, meski dulu sempat merasa tidak berdaya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku mulai tersenyum karena diriku sendiri.

Aku tak lagi memaksa cinta dari siapa pun, termasuk dari suamiku. Aku mencintainya, tapi tidak lagi dengan cara yang menyakitkan diriku sendiri. Aku belajar mencintai dengan sehat: memberi, tapi juga tahu kapan harus melindungi hati sendiri.

Kami masih menjalani hari demi hari bersama. Tapi sekarang, aku tidak lagi menggantungkan hidupku padanya. Jika ia berubah, aku bersyukur. Jika tidak, aku sudah siap berdiri sendiri.

Dan anehnya, ketika aku mulai memperbaiki diriku sendiri… ia perlahan berubah juga. Mungkin karena ia melihat versiku yang tak lagi pasrah, tak lagi bergantung. Kami mulai belajar mencintai bukan karena kewajiban, tapi karena pilihan. Dan jika pun nanti cinta itu harus berakhir, aku tahu: aku sudah mencintai dengan benar.

Kini, aku ingin bicara pada semua perempuan  atau setidaknya, pada diriku di masa lalu:

“Kamu yang pernah menangis diam-diam.

Kamu yang pernah tidur dengan mata bengkak tapi tetap bangun esok pagi demi keluarga.

Kamu yang pernah merasa tak ada yang melihat usahamu.

Hari ini… lihatlah dirimu.

Kamu masih berdiri.

Kamu masih hidup.

Dan itu… luar biasa.”

Kehidupan rumah tanggaku mungkin belum ideal. Ekonomi kami belum stabil. Tapi hatiku kini tak lagi kosong. Aku mulai merasa penuh oleh keberanian, oleh keteguhan, dan oleh cinta yang kupupuk untuk diriku sendiri.

Aku belum tahu akan ke mana jalan ini berakhir. Tapi aku tahu, setiap langkah ke depan kini bukan karena rasa takut, melainkan karena harapan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku bisa berkata:

“Aku bangga pada diriku sendiri.”

Tak ada yang benar-benar instan dalam hidup, apalagi dalam hal memulihkan diri. Tapi aku percaya satu hal: jika benih terus dirawat, ia akan tumbuh  entah lambat, entah pelan  tapi pasti. Begitu pula dengan hidupku.

Usaha kecil yang dulu kupulai dengan ragu, kini mulai menunjukkan hasil. Jahitanku mulai diminati ibu-ibu sekitar. Aku mulai dipercaya untuk membuat seragam sekolah, daster rumahan, dan bahkan tas kecil untuk anak-anak. Pelan-pelan, penghasilan tambahan ini meringankan beban rumah tangga. Lebih dari itu, hatiku merasa lebih hidup saat menjahit  karena setiap jahitan seakan menjadi bukti bahwa aku bisa menciptakan sesuatu yang berguna dari tanganku sendiri.

Suamiku mulai lebih terlibat. Bukan karena kutuntut, tapi karena ia mulai melihat perubahan dalam diriku. Mungkin saat aku berhenti memohon perhatiannya dan mulai menumbuhkan rasa berharga dalam diriku, ia pun mulai sadar bahwa ia tak ingin kehilangan.

Kami kini belajar menjadi teman. Bukan pasangan sempurna, tapi dua orang yang mencoba saling memahami kembali. Kadang aku masih ragu: apakah kami akan terus bersama? Tapi kini aku tahu, apapun jawabannya, aku akan tetap baik-baik saja.

Ada satu hal yang aku pelajari belakangan ini: kebebasan tidak selalu berarti pergi. Kadang, kebebasan adalah tentang bisa memilih, bisa berpikir, dan bisa merasa tanpa ketakutan, tanpa tekanan.

Aku kini bebas bukan karena meninggalkan rumah, tapi karena aku akhirnya menemukan rumah dalam diriku sendiri.

Aku bisa tertawa tanpa merasa bersalah. Aku bisa menangis tanpa takut dianggap lemah. Aku bisa berbicara jujur, dan tetap dihargai. Dan jika suatu hari nanti keadaan mengharuskanku untuk pergi, aku tahu itu bukan pelarian  tapi keputusan yang matang dari perempuan yang telah sembuh

Aku tak tahu bagaimana akhir cerita ini. Tapi kini, aku tidak lagi menunggu akhir. Aku menulis ceritaku sendiri  halaman demi halaman.

Aku ingin kelak memiliki ruang kecil, mungkin toko jahit mungil yang kutata sendiri. Aku ingin membantu perempuan lain yang pernah merasa lelah sepertiku  memberi semangat, berbagi cerita, dan mungkin… membuka peluang kerja bersama.

Dan yang terpenting: aku ingin hidupku bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang tumbuh.

Aku bukan lagi perempuan yang diam dalam luka. Aku adalah perempuan yang memilih bangkit pelan, tapi nyata.

 Hari ini, jika ada yang bertanya siapa aku, aku akan menjawab:

“Aku adalah perempuan yang pernah hancur tapi membangun dirinya kembali.

Yang pernah diam tapi kini berani bersuara.

Yang pernah hilang arah, tapi sekarang tahu ke mana harus melangkah.

Dan aku akan terus berjalan… karena aku layak bahagia.”


Suatu pagi, saat aku sedang menyetrika hasil jahitan pelanggan, aku menoleh ke jendela dan melihat cahaya matahari menembus tirai. Rasanya hangat, tapi bukan hanya karena sinarnya ada kehangatan yang tumbuh di dalam diriku sendiri.

Dulu aku hanya ingin ‘berhasil keluar dari rasa sakit’. Tapi hari ini, aku ingin lebih dari itu. Aku ingin hidup dengan utuh, tak lagi menunggu orang lain untuk membuatku bahagia. Aku mulai menabung  bukan hanya uang, tapi juga mimpi.

Mimpiku sederhana: sebuah kios kecil di dekat rumah. Tempat aku bisa menjahit, menerima pesanan, mungkin juga menjadi tempat beberapa perempuan berkumpul sambil belajar bersama. Aku menulis nama toko khayalanku di atas kertas: “Rumah Jahit Pelita”. Aku tersenyum. Pelita karena itulah yang aku rasakan sekarang: cahaya yang mulai menyala setelah lama redup.

Hubunganku dengan suamiku tidak lagi menjadi pusat segalanya. Bukan karena aku tak peduli, tapi karena aku sadar: hidupku tidak berhenti padanya. Kami masih bersama, tapi kini berdiri berdampingan, bukan bertopang satu sama lain secara timpang. Aku sudah tak lagi takut jika suatu hari tak lagi bersamanya. Cintaku kini berdiri di atas keikhlasan, bukan ketakutan.

Dan jika suatu hari takdir memintaku memilih jalan berbeda, aku siap. Karena aku tahu: aku sudah pernah mencintai, sudah pernah mencoba. Dan aku juga sudah pernah terluka, tapi aku bisa sembuh.

Kini, aku tak lagi hidup dalam bayang-bayang status. Aku adalah aku seorang ibu, seorang istri, seorang perempuan yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Pelan-pelan, aku mulai menulis. Aku tuangkan kisahku ke dalam blog sederhana. Ada beberapa perempuan yang membaca, dan mulai mengirim pesan:

"Aku juga pernah merasakan hal yang sama."

"Terima kasih sudah menuliskan apa yang tak bisa aku ungkapkan."

"Aku jadi kuat setelah membaca ceritamu."

Aku terdiam. Dulu aku pikir kisahku terlalu gelap untuk diceritakan. Tapi ternyata, justru dari luka itulah cahaya bisa masuk dan menginspirasi orang lain. Aku pun mulai bermimpi lebih besar: mengadakan ruang diskusi kecil untuk para istri yang sering dipendam suaranya. Bukan untuk melawan, tapi untuk belajar mendengar diri sendiri lagi.Sekarang, kebahagiaanku tak bergantung pada satu orang. Aku bahagia karena aku bebas memilih, karena aku tahu arah hidupku, karena aku tidak lagi memaksakan cinta atau menunggu validasi.

Bahagia versiku adalah saat aku menyeduh teh sendiri dengan tenang.

Bahagia versiku adalah saat aku menyelesaikan pesanan dan pelanggan tersenyum puas.

Bahagia versiku adalah ketika aku duduk bersama anakku, bercerita tanpa takut.

Bahagia versiku… adalah saat aku bisa memeluk diriku sendiri dan berkata:

“Aku bangga padamu”

Ini mungkin bukan akhir kisah, tapi ini adalah awal yang baru.

Awal dari hidup yang tidak sempurna, tapi nyata.

Awal dari perjalanan seorang perempuan yang dulu mati rasa, kini tumbuh menjadi cahaya bagi dirinya sendiri… dan mungkin, bagi orang lain juga.

Karena ternyata, luka itu bukan akhir dari segalanya.

Kadang, luka justru jalan pulang… menuju versi terbaik dari diri sendiri.

Kesan 6 Bulan Bagiku

Enam bulan ini terasa seperti sebuah perjalanan panjang yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya.

Bagi orang lain, enam bulan mungkin hanya potongan waktu biasa.

Tapi bagiku, enam bulan ini adalah titik balik, tempat aku kehilangan banyak hal… dan perlahan mulai menemukan sesuatu yang lebih berharga: diriku sendiri.

Dalam enam bulan itu, aku pernah merasa sangat hampa.

Aku hidup satu rumah dengan seseorang yang pernah sangat aku cintai, tapi rasanya seperti hidup dengan bayangan. Kami bicara, tapi tak saling mendengar. Kami dekat, tapi tak pernah benar-benar bersama.

Yang tersisa hanya rutinitas… dan sunyi.

Ekonomi pun tak membantu.

Masalah demi masalah datang tanpa permisi.

Rasanya seperti jatuh, tapi tak ada tempat untuk bersandar.

Aku hanya berdiri bukan karena kuat, tapi karena tak punya pilihan lain selain bertahan.

Tapi di antara semua rasa sesak itu,

aku justru mulai mengenali sesuatu yang selama ini kuabaikan:

diriku sendiri.

Aku mulai melihat betapa lama aku bertahan demi semua orang, tapi lupa bertanya:

"Apa kabar hatiku sendiri?"

"Apa aku masih bahagia?"

Dan perlahan… aku mulai berubah.

Aku belajar menerima kenyataan, tanpa terus menyakiti diri sendiri.

Aku belajar menatap ke depan, meski tanpa ada jaminan segalanya akan membaik.

Aku belajar melangkah, meski dengan kaki yang gemetar.

Enam bulan ini… kesannya tak akan pernah hilang.

Enam bulan ini mengajarkanku:

bahwa rasa sakit tidak selamanya buruk, karena ia membuka mata.

bahwa kehilangan arah kadang justru membawa kita ke jalan yang seharusnya.

bahwa bertahan dalam senyap adalah bentuk kekuatan yang tak semua orang miliki.

Enam bulan ini…

membuatku tumbuh.

Bukan menjadi sempurna,

tapi menjadi lebih jujur, lebih kuat, dan lebih sadar bahwa aku berhak hidup dengan utuh, bukan hanya setengah hati.

Kesan 6 bulan bagiku?

Pahit, tapi membangunkan.

Berat, tapi membentuk.

Sepi, tapi akhirnya membuatku mengenal satu sosok yang paling penting:Aku sendiri


Bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk mengubah cara aku melihat hidup.”

Enam bulan ini…

mengajarkanku bahwa cinta tidak selalu cukup untuk membuat hubungan tetap hidup.

Bahwa ada rasa lelah yang tak bisa disembuhkan hanya dengan kata “sabar.”

Dan ada jarak yang tak bisa dijembatani oleh janji-janji tanpa perubahan.

Aku pernah bangun pagi dan bertanya:

"Untuk apa aku di sini?"

"Apakah aku masih dicintai, atau hanya dibutuhkan?"

Aku menjalani hari-hari seperti robot: mengurus rumah, memasak, tersenyum, pura-pura kuat…

padahal di dalam, hatiku seperti ruangan kosong yang dingin dan gelap.

Tapi yang paling meninggalkan kesan adalah saat aku menyadari:

aku tidak bisa terus begini.

Aku tidak bisa menunggu seseorang menyelamatkanku.

Karena satu-satunya yang bisa menyelamatkanku… adalah aku sendiri.

Kesan Terbesar: Aku Pulih

Aku memulai hal kecil bukan karena ingin terlihat hebat, tapi karena ingin merasa hidup.

Dari menjahit, menulis, membaca, belajar berjualan…

hingga mulai memeluk diriku sendiri saat tak ada yang mengerti.

Dan di sanalah… perlahan, rasa hampa itu mulai berganti.

Menjadi tenang.

Menjadi sadar.

Menjadi damai.

Aku tidak lagi mengharapkan orang lain memahami semuanya.

Aku tidak lagi menuntut perasaan yang tidak bisa dipaksakan.

Yang kulakukan hanya satu: menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.

Dan itu cukup.

Sangat cukup.

Kini saat aku menatap cermin,

aku melihat perempuan yang pernah runtuh,

tapi tidak hancur.

Perempuan yang pernah kehilangan arah,

tapi akhirnya menemukan jalan pulang ke dalam dirinya sendiri.

Aku melihat mata yang pernah basah,

kini lebih tenang.

Bibir yang pernah diam,

kini bisa tersenyum tanpa pura-pura.

Dan hati yang dulu lelah,

kini tahu bahwa ia layak bahagia… meski harus memulai dari nol.

Jadi kesan 6 bulan bagiku?

Luka yang menjelma jadi kekuatan.

Sunyi yang mengajarkan arti hadir untuk diri sendiri.

Gelap yang akhirnya menunjukkan…

di mana seharusnya aku menyalakan cahaya.


Enam Bulan Itu… Aku Tak Lagi Sama

Enam bulan lalu, aku adalah perempuan yang kehilangan dirinya.

Hidup di tengah hubungan yang hambar, ekonomi yang merundung, dan perasaan yang mati perlahan.

Setiap hari seperti menggenggam pasir makin erat kugenggam, makin hilang semua yang kuharap.

Aku lelah… tapi tetap bertahan,

karena kupikir, itulah satu-satunya cara untuk disebut “perempuan kuat.”

Tapi ternyata, menjadi kuat…

bukan berarti menahan semuanya sendiri.

Bukan berarti menutup luka dan tetap tersenyum demi terlihat baik-baik saja.

Justru…

kuat adalah saat aku mulai jujur pada diriku sendiri.

Bahwa aku tidak baik-baik saja.

Bahwa aku butuh istirahat, butuh didengar, dan… butuh memilih diriku sendiri.

6 Bulan Itu Mengubah Segalanya, Tanpa Mengubah Siapa-Siapa

Banyak hal tidak berubah:

suamiku masih sama, keadaannya belum sepenuhnya stabil,

beban masih terasa di pundak…

tapi aku yang berubah.

Aku tak lagi menyalahkan.

Aku tak lagi menunggu diselamatkan.

Aku tak lagi menggantungkan hidupku pada siapa pun.

Aku bangun, berdiri, dan mulai berjalan walau sendiri.

Karena aku sadar:

aku layak bahagia.

Bukan hanya sebagai istri, bukan hanya sebagai ibu,

tapi sebagai aku  perempuan yang punya mimpi, punya luka, dan punya cahaya sendiri.

Hari Ini… Aku Tidak Kembali, Aku Menjadi

Hari ini aku sudah berbeda.

Tidak lebih sempurna.

Tapi lebih jujur. Lebih tenang.

Dan jauh lebih mencintai diriku sendiri.

Kini aku tahu, enam bulan itu bukan sekadar waktu.

Enam bulan itu adalah ruang belajar.

Tempat aku jatuh, menangis, bertanya…

tapi juga tempat aku bangkit, memutuskan, dan berubah.

Enam bulan itu… tidak akan pernah kuanggap sia-sia.

Karena dari sanalah, aku lahir kembali sebagai perempuan yang tahu betapa berharganya dirinya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar