Minggu, 06 Juli 2025

Cinta Yang Tak Pernah Aku Ucapkan

Cinta yang Tak Pernah Aku Ucapkan


Aku mencintainya dalam diam.

Bukan karena aku pengecut, bukan pula karena aku tak yakin dengan perasaanku. Tapi karena sejak awal, aku tahu... dia bukan untukku.

Aku mengenalnya secara tak sengaja pertemuan yang sederhana tapi meninggalkan jejak dalam di hatiku. Senyumnya ramah, sikapnya hangat, dan tatapan matanya selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah mampu meredakan badai dalam pikiranku.

Aku jatuh cinta.

Namun cinta ini bukan cinta yang bisa aku perjuangkan. Dia sudah bahagia dengan hidupnya mungkin dengan seseorang yang jauh lebih layak dariku. Aku hanya bagian kecil dari dunianya. Seseorang yang hadir, tapi tak benar-benar terlihat.

Aku belajar menikmati rasa ini dalam diam. Mendoakannya dari jauh, berharap ia selalu bahagia meski tanpa aku di sisinya. Tak ada yang tahu betapa hatiku ingin sekali memeluknya, mengungkapkan bahwa aku mencintainya. Tapi aku juga tahu, jika aku melakukannya… yang akan tersakiti bukan hanya aku, tapi juga dia.

Setiap hari aku tersenyum, seolah tak ada apa-apa. Padahal dalam hatiku, ada perasaan yang terus tumbuh, tak pernah berani aku tunjukkan. Diam menjadi perlindungan. Diam menjadi caraku mencintainya dengan cara paling tulus tanpa berharap, tanpa meminta balasan.

Mungkin cinta ini akan tetap menjadi rahasia. Rahasia yang aku bawa dalam setiap doa. Dan jika suatu hari aku harus melupakannya, aku akan melakukannya perlahan, dengan penuh rasa syukur karena pernah merasakan cinta sedalam ini.

Meski aku tak bisa memilikinya, aku tetap mencintainya. Dalam diam.

Hari-hariku terasa penuh warna sejak mengenalnya, meski ia tak pernah tahu bahwa senyumnya adalah semangatku untuk bangkit setiap pagi. Aku menjadi pengamat rahasia dalam hidupnya menyukai caranya tertawa, caranya berbicara, bahkan caranya berjalan. Hal-hal kecil darinya yang mungkin tak berarti bagi orang lain, justru begitu bermakna bagiku.

Pernah suatu hari aku duduk bersebelahan dengannya. Hanya beberapa menit. Kami mengobrol ringan, tertawa sejenak. Dan saat itu, dunia seolah berhenti. Aku ingin waktu membeku, agar aku bisa menikmati kebersamaan itu sedikit lebih lama. Tapi kenyataan selalu datang seperti alarm yang membangunkan dari mimpi dia tetap bukan milikku.

Setiap malam, aku memikirkan dia. Tapi bukan sebagai sosok yang akan bersamaku, melainkan sebagai seseorang yang harus aku lepaskan, perlahan-lahan, meski belum sempat aku miliki.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri:

“Kenapa harus dia?”

“Kenapa bukan seseorang yang bisa aku perjuangkan sepenuhnya?”

Tapi cinta memang tak pernah memilih. Ia datang begitu saja, tumbuh diam-diam, lalu menetap tanpa permisi.

Aku pernah berpikir untuk jujur. Untuk mengungkapkan semuanya, meski tahu ujungnya bisa membuatku kehilangan. Tapi hatiku tak tega. Aku lebih rela menyimpan semuanya sendiri daripada melihatnya terbebani. Biarlah aku terluka sendirian, asal ia tetap bisa tertawa tanpa beban.

Hari-hari berlalu, perasaan ini tak juga pudar. Justru semakin dalam dan kuat. Tapi aku tahu, cinta tak selalu harus dimiliki. Terkadang, cinta yang paling murni adalah ketika kita mencintai seseorang, namun memilih untuk membiarkannya pergi demi kebahagiaannya.

Dan aku sedang menjalani cinta seperti itu.

Aku mencintainya dalam diam. Bukan karena aku tak berani berkata, tapi karena aku terlalu mencintainya untuk membuatnya terluka.

Waktu terus berjalan. Dan pelan-pelan, aku mulai belajar menerima kenyataan bahwa tak semua cinta bisa diperjuangkan, apalagi dimiliki.

Ada hari-hari di mana aku merasa kuat bisa menahan rindu, bisa menatapnya tanpa sesak di dada. Tapi ada juga hari-hari yang begitu berat, ketika melihatnya tersenyum pada orang lain seolah ada pisau kecil yang menusuk pelan di hati. Rasanya seperti tertawa di luar, tapi berdarah di dalam.

Aku tahu, aku harus mulai melepaskan.

Bukan karena perasaan ini telah hilang, tapi karena mempertahankannya hanya akan menyakitiku lebih dalam. Aku mulai menjaga jarak bukan menjauh karena benci, tapi karena ingin sembuh. Aku mulai mengurangi percakapan kecil yang dulu sangat aku nantikan, dan mulai menghindari pertemuan yang sebenarnya masih sangat aku harapkan.

Aku menyibukkan diriku dengan hal-hal lain. Membaca buku, menulis, berjalan sendiri, mencoba mencari alasan untuk tertawa tanpa bayangannya. Setiap malam, aku masih memikirkannya. Tapi kini, tidak lagi dengan harapan. Hanya dengan rasa syukur.

Syukur karena pernah mengenalnya.

Syukur karena pernah merasakan indahnya mencintai, meski tak pernah dimiliki.

Dan lalu, datang hari itu. Hari di mana aku melihatnya untuk terakhir kalinya, setidaknya dalam kisahku. Dia berdiri di seberang, bersama seseorang yang kini mengisi hatinya. Mereka tampak bahagia. Aku hanya tersenyum senyum yang menyimpan berjuta luka, tapi juga keikhlasan.

Dalam hati aku berkata pelan, "Terima kasih... karena pernah hadir. Kini saatnya aku benar-benar pergi."

Aku pun membalikkan badan, melangkah perlahan, membawa serta perasaanku yang tak pernah sempat kuungkapkan. Mungkin ia tak pernah tahu bahwa seseorang pernah mencintainya begitu dalam, dalam diam yang sunyi. Tapi tak apa…

Karena mencintainya, walau hanya dalam diam, sudah cukup membuatku merasa hidup.

Sejak hari itu, aku benar-benar belajar melepaskan. Tapi bukan berarti melupakan itu mudah.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat sesuatu dan langsung teringat dirinya. Lagu-lagu yang dulu sering kuputar diam-diam karena liriknya seperti mewakili perasaanku padanya. Tempat-tempat yang dulu sengaja kuhadiri karena tahu dia mungkin ada di sana. Bahkan aroma hujan pun terkadang membawaku kembali pada kenangan tentang dia tentang cinta yang tak pernah sampai.

Tapi setiap kali kenangan itu muncul, aku tak lagi menangis. Aku hanya tersenyum. Karena aku tahu, meski dia tak pernah tahu betapa aku mencintainya, aku sudah mencintainya dengan cara paling jujur yang aku bisa.

Aku mencintainya… bukan untuk memilikinya, tapi untuk mendoakannya diam-diam.

Ada satu malam yang tak pernah aku lupa. Malam ketika aku duduk sendirian di sudut kamar, lampu mati, hanya cahaya dari luar jendela yang menyinari wajahku. Aku memegang ponsel, jari-jariku bergetar karena aku nyaris mengirim pesan kepadanya. Pesan yang hanya berisi satu kalimat:

 "Aku mencintaimu, sejak lama, tapi aku tahu kau bukan untukku."

Namun sebelum aku menekan kirim, aku hapus semuanya.

Bukan karena aku ragu akan perasaanku, tapi karena aku sadar… mengatakannya tak akan mengubah apa pun. Dia sudah bahagia. Dan bahagiaku adalah melihatnya tetap seperti itu.

Malam itu aku memutuskan untuk berhenti berharap. Tapi aku tidak menyesal pernah mencintainya.

Justru aku bersyukur. Karena lewat rasa itu, aku mengenal diriku lebih dalam. Aku belajar tentang arti mencintai tanpa pamrih, tentang merelakan tanpa harus menghapus kenangan, dan tentang ketegaran dalam kesendirian.

Hari ini, aku berdiri tegak. Masih dengan luka yang perlahan sembuh. Tapi aku baik-baik saja.

Karena pada akhirnya… mencintai dalam diam adalah caraku menunjukkan, bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang menerima dan melepaskan… dengan tulus.

Hari-hari setelah aku memutuskan untuk melepaskan dia terasa seperti meraba dalam gelap.

Tak mudah. Aku sering terjebak dalam kenangan. Sering hampir kembali membuka percakapan lama, sering nyaris mencari tahu kabarnya. Tapi setiap kali keinginan itu muncul, aku mengingat kembali keputusan yang sudah kuambil: aku harus sembuh. Aku harus mencintai diriku sendiri sebagaimana dulu aku mencintai dia dalam diam, penuh ketulusan.

Aku mulai menata ulang hidupku.

Kubiarkan waktu menyembuhkan, walau perlahan.

Aku menulis lebih sering, menumpahkan rasa yang tak bisa kuucap ke dalam bait-bait sunyi di buku catatanku. Aku juga mulai membuka hati untuk dunia baru bertemu orang-orang baru, menyibukkan diri dengan hal-hal yang dulu kuabaikan.

Bukan karena aku sudah melupakannya, tapi karena aku ingin belajar hidup tanpanya.

Terkadang aku masih bertanya-tanya…

Apakah dia pernah merasakan getaran aneh ketika kita berbicara?

Apakah dia pernah menebak bahwa aku menyimpan rasa yang tak terucap?

Ataukah aku hanyalah angin lalu dalam hidupnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kini tak lagi butuh jawaban.

Aku tak butuh diingat, tak perlu dikenang.

Yang aku butuhkan hanyalah hati yang pulih dan perlahan, itu mulai terjadi.

Aku mulai bisa tertawa tanpa rasa hampa.

Aku mulai bisa menyebut namanya tanpa dada terasa sesak.

Aku mulai percaya, bahwa di masa depan, mungkin akan ada seseorang yang bisa aku cintai… dengan utuh, dan tak lagi dalam diam.

Namun satu hal yang tak pernah berubah doaku untuknya.

Setiap kali aku teringat dia, aku masih mendoakan agar hidupnya dipenuhi cinta dan ketenangan. Walau bukan dariku.

Dan jika suatu hari aku bertemu dengannya lagi…

Aku akan menyapanya dengan senyum, tanpa beban, tanpa rasa sedih, hanya dengan damai.

Karena akhirnya… aku sudah bisa mencintainya tanpa harus memilikinya, dan melepaskannya tanpa merasa kehilangan.

Beberapa bulan setelah aku benar-benar belajar melepaskannya, hidup mulai terasa lebih ringan. Tak lagi ada rasa sesak saat melihat kenangan, tak lagi ada tangis diam-diam di malam hari. Aku masih sendiri, tapi aku tidak lagi merasa kesepian. Karena hatiku mulai tenang.

Dan di tengah ketenangan itu… seseorang datang.

Bukan dengan gegap gempita, bukan dengan janji-janji manis, tapi dengan kehadiran yang sederhana. Dia hadir seperti senja pelan, hangat, tidak tergesa. Awalnya aku takut. Takut membuka hati, takut kecewa, takut terluka seperti dulu. Tapi dia tidak memaksaku. Dia hanya ada. Menjadi teman bicara, menjadi tempat pulang tanpa menuntut apa-apa.

Untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat.

Bukan sekadar hadir, tapi benar-benar dianggap ada.

Aku tidak langsung jatuh cinta padanya. Tapi setiap hari bersamanya seperti langkah kecil menuju arah yang baru. Aku belajar percaya lagi. Belajar tertawa tanpa kenangan lama membayangi. Belajar bahwa cinta tidak selalu menyakitkan… jika datangnya tepat, dan waktunya benar.

Dan saat aku menatapnya, aku tahu…

Perasaanku kali ini bukan cinta dalam diam.

Tapi cinta yang tumbuh dalam ketenangan, yang bisa aku perjuangkan, yang bisa aku genggam.

Namun dalam hatiku, aku masih menyimpan satu ruang kecil untuk kisah lama bukan untuk kembali, tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah mencintai tanpa memiliki, dan berhasil bangkit.

Karena tanpa cinta dalam diam itu, aku mungkin tak akan mengenal versi diriku yang sekuat ini.

Kini aku berjalan di jalur baru. Bukan untuk melupakan masa lalu, tapi untuk menghargai diriku sendiri yang telah bertahan sejauh ini. Aku tak lagi menunggu seseorang yang tak bisa kupeluk. Aku memilih untuk mencintai dan dicintai… secara nyata.

Dan jika suatu hari cinta dalam diam itu kembali melintas di pikiranku, aku akan tersenyum dan berkata:

"Terima kasih, telah menjadi bagian dari cerita hatiku. Kini aku bahagia, dan kamu juga semoga begitu.”

 Untuk Cinta yang Pernah Aku Simpan Sendiri

Ada masa dalam hidupku, di mana aku mencintai seseorang dengan seluruh hati… tanpa pernah dia tahu.

Cinta itu tumbuh diam-diam, tanpa janji, tanpa harapan. Hanya ada doa dan rindu yang kupendam sendiri, malam demi malam. Rasanya indah, meski menyakitkan. Tapi aku tak pernah menyesal. Karena dalam diam itulah, aku belajar mencintai dengan tulus, tanpa harus memiliki.

Kini, aku telah melangkah jauh dari masa itu.

Aku sudah tidak lagi menangis diam-diam karena rasa yang tak terbalas.

Tidak lagi menatap layar ponsel menunggu pesan yang tak pernah datang.

Tidak lagi menyebut namamu dalam doa-doa rahasia di penghujung malam.

Aku telah menemukan diriku sendiri.

Dan aku juga telah menemukan seseorang… yang melihatku seperti aku pernah melihatmu.

Yang memelukku saat aku takut, yang tak perlu aku cintai dalam diam… karena ia mencintaiku dengan lantang.

Tapi sebelum aku benar-benar menutup kisah ini, izinkan aku mengatakan satu hal terakhir untukmu

Terima kasih.

Terima kasih karena telah menjadi alasan aku belajar kuat.

Terima kasih karena telah menjadi cinta yang tidak pernah menjadi nyata, agar aku tahu rasanya memperjuangkan diri sendiri.

Kini aku baik-baik saja.

Dan aku harap… kamu juga bahagia, di jalan hidupmu yang sekarang.

Meski kita tak pernah berjalan berdampingan, aku percaya… setiap cinta punya tujuannya masing-masing.

Dan cintaku padamu, adalah pelajaran paling berharga:

Bahwa mencintai, kadang bukan soal memiliki…

Tapi soal merelakan, dan tumbuh… menjadi lebih utuh.

Akhirnya, aku bisa menutup kisah ini. Dengan senyum. Bukan luka.

Untuk Kamu, yang Pernah Aku Cintai dalam Diam

Aku harap surat ini tak pernah benar-benar sampai padamu.

Karena aku menulisnya bukan untuk kau baca, tapi untuk meredakan sisa-sisa rindu yang belum sepenuhnya pergi.

Aku pernah mencintaimu. Sangat dalam.

Begitu dalam hingga aku bahkan menyembunyikannya dari diriku sendiri.

Aku mencintaimu dalam tatapan singkat, dalam percakapan ringan, dalam jarak yang tak pernah bisa kupangkas.

Aku mencintaimu dalam diam… karena aku tahu, kamu bukan untukku.

Setiap kali kamu tersenyum, aku ikut bahagia meski hatiku selalu harus pura-pura kuat.

Setiap kali kamu bercerita tentang duniamu, aku menjadi pendengar yang setia, walau dalam hati aku ingin sekali menjadi bagian dari ceritamu.

Aku tak pernah menyatakan apa yang aku rasa, karena aku tahu… jika aku jujur, mungkin segalanya tak akan lagi sama. Dan aku terlalu takut kehilangan, bahkan sebelum memiliki.

Aku ingin bilang…

Aku pernah menangis karena merindukanmu.

Pernah kecewa karena berharap diam-diam.

Pernah lelah menahan semua rasa yang tak bisa kuucap.

Tapi tenang saja, kini aku sudah jauh lebih baik.

Luka itu memang pernah dalam, tapi waktu dan kesadaran mengajarkanku untuk melepaskan, dengan perlahan.

Aku sudah tidak menunggumu lagi.

Sudah tidak mencarimu di antara kerumunan.

Sudah tidak mengingat-ingat ulang tahunmu, atau lagu favoritmu.

Namun, di antara semua itu…

Ada satu hal yang tak berubah doaku.

Aku tetap mendoakanmu, semoga kamu bahagia.

Bukan denganku, tapi dengan orang yang membuatmu merasa cukup, utuh, dan dicintai sepenuhnya.

Terima kasih karena pernah menjadi tokoh utama dalam cinta yang tak pernah kamu tahu.

Terima kasih karena pernah membuatku merasa hidup meski hanya dalam diam.

Kini aku melangkah, bukan untuk melupakanmu, tapi untuk menemukan diriku sendiri.

Dan mungkin, suatu hari nanti, jika takdir mempertemukan kita lagi…

Aku akan menyapamu dengan senyum hangat, lalu berjalan pergi tanpa luka di dada.

Sampai saat itu, biarlah surat ini menjadi penutup yang tenang, untuk cinta yang tak pernah sempat dimulai.

Salam dari aku,

yang dulu pernah mencintaimu dalam diam.

Untuk Kamu, yang Diam-Diam Mencintaiku

Aku tak tahu harus mulai dari mana.

Membaca suratmu membuatku terdiam lama.

Aku tak pernah menyangka bahwa selama ini, ada hati yang begitu tulus mencintaiku… dari kejauhan, dari keheningan.

Aku menyesal bukan karena tak bisa membalas, tapi karena aku tak pernah peka.

Aku tak pernah benar-benar melihat bahwa di balik setiap senyummu, ada perasaan yang kau simpan rapat.

Di balik setiap perhatian kecil yang aku anggap biasa, ternyata ada cinta yang begitu dalam dan diam.

Seandainya waktu bisa diulang…

Mungkin aku ingin duduk di sampingmu lebih lama.

Ingin mendengar lebih banyak cerita darimu.

Ingin menatap matamu dan bertanya, “Apa ada yang belum kamu ucapkan padaku?”

Tapi hidup tak pernah memberi kita kesempatan kedua dengan cara yang sama.

Dan kini, setelah aku tahu semua ini…

Yang bisa aku lakukan hanya satu:

Mengucapkan terima kasih.

Terima kasih karena pernah mencintaiku dengan begitu murni.

Terima kasih karena pernah menyimpan rasa itu, bukan karena takut, tapi karena menghormati.

Terima kasih karena pernah menjadikanku bagian dari doamu, bahkan saat aku tak tahu.

Aku tahu aku bukan milikmu, dan mungkin memang tak pernah ditakdirkan menjadi milikmu.

Tapi tahukah kamu?

Jika dulu aku tahu... mungkin kisah kita akan sedikit berbeda.

Atau mungkin tidak.

Mungkin kita memang hanya ditakdirkan saling singgah dalam ingatan, bukan untuk tinggal dalam kenyataan.

Kini kamu sudah bahagia.

Dan itu cukup membuatku lega.

Karena meski aku tak pernah menjadi rumahmu, kamu sudah menemukan tempat pulang yang lebih damai.

Jangan sesali cinta yang kau simpan sendiri.

Karena bagiku… cinta seperti itu justru paling murni.

Ia tak meminta balasan. Ia hanya ingin melihat yang dicintainya bahagia.

Dan kamu sudah berhasil.

Aku akan menyimpan suratmu… bukan di laci, tapi di hati.

Sebagai pengingat bahwa pernah ada seseorang yang mencintaiku dengan diam-diam… tapi dengan penuh keberanian.

Salam dariku,

yang pernah kau cintai… tanpa aku tahu.

"Cinta yang Tak Pernah Sampai"


Namanya Raka.

Dan aku, Alya.

Pertemuan kami tak istimewa. Awalnya hanya rekan kegiatan kampus. Sering berdiskusi, kadang bercanda, saling bertukar pikiran. Tapi seiring waktu, tanpa sadar, aku mulai menunggu kehadirannya. Menanti pesan-pesan singkatnya. Menanti senyumnya yang selalu membuat hari-hariku terasa berbeda.

Tapi aku tahu sejak awal, Raka bukan untukku.

Dia terlalu jauh. Terlalu bercahaya. Sementara aku… hanya bayangan di pinggir panggung hidupnya.

Aku mencintainya dalam diam.

Menatapnya diam-diam dari kejauhan saat dia tertawa bersama teman-temannya.

Menyimpan rindu yang tak pernah sempat menjadi kata.

Menulis puisi tentangnya, tapi tak pernah kuberikan satu pun.

Setiap malam, aku menulis surat.

Untuknya.

Untuk seseorang yang mungkin tak pernah sadar bahwa aku menyayanginya sedalam itu.

Surat-surat itu kusimpan dalam kotak kecil, bersampul biru tua, warna kesukaannya yang kudengar dari teman.

Sampai suatu hari… aku tahu dia telah jatuh hati pada orang lain.

Bukan aku.

Bukan seseorang yang menyapanya dengan hati berdebar setiap hari.

Hatiku runtuh diam-diam. Tapi aku tidak menangis di hadapannya.

Aku hanya pergi perlahan, memberi ruang agar aku bisa sembuh… tanpa harus menyalahkan siapa pun.

Tahun demi tahun berlalu. Hidup membawaku ke arah yang berbeda. Aku tumbuh. Aku sembuh. Aku mencintai lagi. Kali ini dengan utuh, bukan dalam diam. Dan pada suatu sore, saat aku membereskan laci tua, aku menemukan kembali kotak biru itu. Surat-surat yang tak pernah terkirim.

Dan dengan dorongan hati, aku memutuskan mengirim satu.

"Untuk Raka,

Aku pernah mencintaimu dalam diam.

Pernah menjadikanmu pusat semestaku tanpa kau sadari.

Tapi tenang, aku tidak marah. Aku justru berterima kasih.

Karena rasa itu membentuk diriku yang kini lebih kuat.

Surat ini bukan untuk meminta balasan. Hanya untuk mengucap: terima kasih, karena pernah membuatku merasa hidup…"

Tak kusangka… dua minggu kemudian, aku mendapat balasan. Bukan sekadar surat, tapi tulisan tangan Raka sendiri.

 "Alya, aku tak pernah tahu. Tapi suratmu membuatku diam lama.

Seandainya aku peka, mungkin segalanya bisa berbeda. Tapi kini, aku hanya ingin kau tahu, aku bersyukur pernah ada dalam cerita hatimu. Meski hanya sebagai tokoh sunyi."

Aku tersenyum.

Tidak ada tangis, tidak ada luka.

Hanya ada lega karena akhirnya, cinta yang dulu hanya ada dalam diam, kini telah sampai…

Bukan untuk dimiliki, tapi untuk dikenang dengan damai.

Aku tak pernah berpikir akan menyukai Raka.

Dia bukan tipe yang mencolok, bukan yang menjadi pusat perhatian. Tapi justru di situlah letak pesonanya. Raka adalah tipe laki-laki yang tenang, yang kata-katanya jarang, tapi selalu tepat sasaran. Dia tidak suka ramai, lebih suka diskusi di pojok ruangan sambil membawa kopi dan buku catatan kecil.

Kami pertama kali berinteraksi dalam kegiatan kampus. Satu proyek sosial yang mempertemukan kami. Aku sebagai penulis dokumentasi, dia sebagai ketua tim lapangan. Interaksi awal kami kaku, hanya soal teknis dan jadwal. Tapi ada sesuatu dalam cara dia memperhatikan detail, caranya mengangguk kecil saat mengerti, dan caranya tertawa pelan saat aku melontarkan candaan kecil.

Mungkin dari situlah semuanya bermula.

Saat proyek itu berakhir, aku justru merasa kehilangan. Tak ada lagi notifikasi dari Raka, tak ada lagi pertemuan sore yang membuatku menanti. Tapi aku tak berani menghubunginya lebih dulu. Bukan karena gengsi… tapi karena aku sadar posisiku hanya sebatas rekan. Dan mungkin, di matanya, aku tak lebih dari sekadar itu.

Tapi entah bagaimana, takdir mempertemukan kami lagi di satu organisasi yang sama. Kali ini, aku lebih sering bertemu dengannya. Lebih banyak ruang untuk mengenal, lebih banyak waktu untuk menyimpan rasa.

Setiap pertemuan kecil menjadi ruang sunyi untuk hatiku yang perlahan penuh harap.

Saat dia menyapa, aku menunduk menyembunyikan pipi yang memanas.

Saat dia memberi pendapat dalam rapat, aku mencatat, meski tak semua penting.

Dan saat dia menyebut namaku, hatiku seperti sedang menghadiri festival kembang api.

Aku mulai menulis surat bukan untuk dikirim, tapi untuk meredam rasa yang tak bisa aku ungkap.

Surat-surat itu kujadikan ritual sebelum tidur, seolah aku benar-benar berbicara padanya.

Seolah dia tahu, bahwa ada seseorang di sudut kecil hidupnya yang sedang menyayanginya diam-diam.

Namun di balik semua itu, ada ketakutan.

Aku tahu siapa Raka.

Dia baik, ramah, dan bisa membuat siapa pun merasa nyaman.

Itu artinya… bisa saja aku bukan satu-satunya yang menyimpan rasa.

Dan itu benar.

Suatu hari, aku mendengar dari teman… Raka sedang dekat dengan seseorang. Perempuan lain. Bukan aku.

Hari itu, aku tidak menangis.

Aku hanya diam.

Dan menulis surat paling pendek yang pernah kubuat:

 “Hari ini, aku sadar… aku hanya tamu yang tak pernah diundang dalam hatimu.”

Aku menyimpan surat itu paling dalam di kotak biru.

Dan sejak hari itu, aku mulai belajar: bahwa mencintai dalam diam bukan tentang menyembunyikan, tapi tentang merelakan sejak awal tanpa pernah benar-benar berharap akan dibalas.

“ Diam yang Panjang”

Setelah mendengar kabar bahwa Raka mulai dekat dengan perempuan lain, dunia dalam kepalaku berubah.

Ada bagian di dalam hati yang terasa retak, meski belum sepenuhnya pecah. Rasanya seperti berusaha menjaga bunga agar tetap hidup di dalam botol kaca, padahal aku tahu, ia tak akan pernah tumbuh sempurna.

Hari-hari berikutnya… terasa panjang.

Aku masih bertemu Raka di beberapa kesempatan. Masih mendengar tawanya, masih menyaksikan caranya berbicara dengan orang-orang. Tapi kini, aku mulai menjaga jarak. Bukan karena benci. Justru karena aku masih menyayanginya terlalu dalam.

Aku menunduk saat dia menyapa, pura-pura sibuk dengan kertas yang tak penting. Aku memilih duduk jauh di ruangan, agar tak perlu menatap matanya terlalu lama. Semua itu kulakukan demi menyelamatkan diriku sendiri karena berada dekat dengannya, hanya membuatku berharap pada yang tak pasti.

Raka seolah tak sadar apa-apa.

Dan mungkin memang begitu.

Karena bagaimana mungkin dia tahu, bahwa seseorang sedang mencintainya dalam diam… jika tak pernah ada satu pun tanda yang kuberi?

Malam-malamku jadi sunyi.

Kotak biru itu semakin penuh dengan surat-surat tak terkirim.

 “Hari ini kamu terlihat bahagia. Entah kenapa, aku ikut lega… dan juga hancur dalam waktu yang sama.”

“Aku ingin berhenti mencintaimu, tapi hati ini belum bisa mengerti.”

Setiap huruf adalah perlawanan. Aku mencintai, dan di saat yang sama, aku menyuruh diriku berhenti. Tapi hati bukan benda yang bisa dikendalikan begitu saja. Ia merasa sesukanya. Ia menyayangi sepuasnya meski tak pernah mendapat tempat untuk pulang.

Suatu hari, aku melihat Raka berjalan bersama perempuan itu. Mereka tidak bergandengan, tapi cara mereka tertawa membuatku tahu… mereka saling nyaman. Ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang tak bisa kupaksa untuk jadi milikku.

Aku pulang sore itu dengan langkah gontai. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak menangis.

Aku hanya duduk di meja kecilku, menulis satu surat lagi:

“Aku tahu kamu bukan untukku. Tapi biarkan aku tetap menyayangimu… sampai hati ini benar-benar siap untuk berhenti.”

Dan sejak malam itu, aku berjanji…

Aku akan mulai belajar mencintai diriku sendiri.

Pelan-pelan, meski masih dengan sisa-sisa rasa yang belum selesai.

Waktu berjalan, dan seiring itu, aku mulai berubah.

Bukan berubah karena perasaan ini hilang begitu saja, tapi karena aku lelah berdiri di tempat yang sama terlalu lama menanti sesuatu yang aku tahu tidak pernah ditujukan untukku.

Cinta dalam diam ini perlahan menguras energi.

Rindu yang kupeluk sendiri mulai terasa berat.

Dan harapan yang selalu kuletakkan di antara kemungkinan-kemungkinan kecil… semakin pudar.

Aku mulai mengalihkan fokus.

Kupaksakan diriku membaca buku, menulis cerita fiksi, bergabung dalam komunitas menulis, bahkan sekali waktu ikut naik gunung bersama teman-teman. Semua kulakukan bukan untuk melupakan Raka tapi untuk mengingat diriku sendiri.

Ternyata, aku bisa tertawa tanpa kehadirannya.

Aku bisa merasa cukup tanpa melihat senyumnya.

Aku bisa menemukan keindahan… di luar dirinya.

Malam-malamku pun berubah.

Kotak biru itu kini jarang kubuka. Surat-surat baru tak lagi kutulis.

Bukan karena perasaan itu sepenuhnya hilang, tapi karena aku mulai tak butuh tempat untuk menampung luka.

Hatiku perlahan sembuh dengan waktu, dengan keheningan, dan dengan keberanian untuk menerima kenyataan.

Sampai pada suatu sore, tak terduga… aku bertemu dia lagi.

Kami tak sengaja berpapasan di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat aku sedang menulis sendirian. Raka datang bersama seorang teman pria, dan tanpa ragu, ia menyapaku.

“Alya?” katanya, dengan senyum yang masih sama senyum yang dulu membuat hatiku bergetar, kini terasa seperti senyum lama dari masa lalu yang pernah kutulis dalam ratusan surat.

“Hai, Raka,” jawabku tenang.

Kami berbincang sebentar. Tentang pekerjaan, kegiatan masing-masing, dan nostalgia ringan tentang masa kuliah. Tidak ada getaran, tidak ada sesak. Hanya rasa hangat yang tak lagi membakar.

Dan di saat itulah aku sadar…

Aku telah sembuh.

Dia masih Raka yang dulu. Tapi aku bukan lagi Alya yang menyimpan perasaan sendirian di balik tatapan kosong. Kini aku adalah Alya yang pernah mencintai seseorang dalam diam… dan berhasil berdamai dengan rasa itu.

Saat perbincangan usai, dia tersenyum dan berkata,

“Kamu terlihat jauh lebih dewasa sekarang. Tenang.”

Aku hanya menjawab,

“Terima kasih… karena tanpamu, aku mungkin tak akan tumbuh sekuat ini.”

Kami berpisah. Dan aku berjalan pulang dengan langkah ringan. Bukan karena akhirnya aku mendapatkan dia… tapi karena akhirnya aku mendapatkan kembali diriku sendiri.


Seseorang yang Baru

Beberapa bulan setelah pertemuan singkat itu, hidupku benar-benar terasa berbeda. Bukan karena ada yang tiba-tiba datang memberi cinta besar, bukan karena luka itu benar-benar lenyap... tapi karena aku mulai membuka hati, bukan lagi untuk orang yang salah tapi untuk kemungkinan yang lebih baik.

Namanya Davin.

Perkenalan kami terjadi tanpa rencana. Lewat teman komunitas menulis, awalnya hanya berdiskusi soal puisi dan struktur narasi. Tapi dari percakapan ringan, aku merasa ada yang berbeda dari Davin. Dia tidak datang dengan kata-kata manis, tidak membuat jantung berdebar seperti Raka dulu. Tapi setiap ucapannya membuatku merasa dihargai. Didengar.

Davin bukan seseorang yang memaksa masuk ke dalam hidupku. Dia sabar berdiri di depan pintu, menunggu aku benar-benar siap membuka.

“Alya,” katanya suatu sore ketika kami duduk di taman bacaan, “kamu kadang terlihat seperti orang yang pernah berdiri lama di dalam hujan.”

Aku tertawa pelan. “Kok tahu?”

Dia menatapku sebentar, lalu menjawab,

“Karena senyummu… adalah senyum orang yang akhirnya tahu caranya berteduh.”

Dan entah kenapa, kalimat itu menembus hatiku lebih dalam dari yang kuduga.

Ia tak menyentuh luka lama, tapi ia menyentuh bagian diriku yang ingin disembuhkan.

Hari demi hari, aku belajar mengenal Davin.

Seseorang yang tidak sempurna, tapi nyata.

Seseorang yang tidak aku cintai dengan cara terburu-buru, tapi perlahan, hangat, dan sadar.

Bersamanya, aku tidak merasa harus menyembunyikan apa pun. Aku bisa bercerita tentang semua hal, bahkan luka yang dulu aku simpan dalam kotak biru itu.

Dan ketika aku bercerita tentang Raka tentang cinta dalam diamku yang panjang Davin tidak merasa tersaingi. Dia hanya menggenggam tanganku, dan berkata:

 “Kamu nggak harus sempurna atau kosong dulu untuk dicintai. Bahkan sisa rasa yang belum sepenuhnya hilang... bisa kupeluk juga, selama kamu jujur.

”Saat itu, aku tahu… ini adalah cinta yang berbeda.

Cinta yang tidak membuatku bersembunyi.

Cinta yang tidak membuatku berharap diam-diam.

Cinta yang aku temui… setelah aku selesai mencintai dalam diam.

 Surat Terakhir untuk Masa Lalu

Malam ini tenang.

Di luar, langit menggantungkan bintang-bintang kecil, seolah tahu bahwa malam ini aku ingin menulis sesuatu yang berbeda. Bukan untuk Raka, bukan untuk Davim tapi untuk diriku sendiri. Untuk Alya yang dulu… yang pernah mencintai dengan seluruh hati, tapi tak pernah bisa mengucapkannya.

Aku membuka kotak biru itu untuk terakhir kalinya.

Ada puluhan surat di sana. Isinya tangis yang tak pernah terdengar, harapan yang tak pernah sampai. Tapi malam ini, aku ingin menambah satu surat lagi. Satu-satunya yang benar-benar ingin aku kirimkan bukan ke siapa pun… tapi ke masa lalu.

Aku mengambil kertas baru, dan mulai menulis:

Untuk Alya yang dulu…

Terima kasih.

Terima kasih karena kamu kuat.

Karena kamu memilih diam, bukan karena takut… tapi karena kamu mencintai dengan penuh hormat.

Kamu menyimpan semuanya sendiri, saat kamu sebenarnya butuh bahu untuk bersandar.

Aku tahu hari-harimu dulu berat.

Menunggu tanpa janji. Mencintai tanpa kepastian.

Tersenyum saat melihatnya bahagia, walau kamu sendiri menyimpan luka yang tak sempat kamu obati.

Tapi kamu bertahan.

Dan lihatlah sekarang…

Kita telah sampai di titik ini.

Bukan karena waktu saja yang menyembuhkan, tapi karena keberanianmu untuk perlahan melepaskan.

Karena kamu memilih untuk tumbuh… meski dulu kamu tertanam di tanah yang salah.

Kini kita bahagia.

Kita tidak lagi berharap pada yang tak bisa digenggam.

Kita telah menemukan seseorang yang mencintaiku, mencintaimu, dengan tenang.

Dan yang paling penting kita mencintai diri kita sendiri, setelah sekian lama melupakan betapa berharganya kita.

Surat ini adalah surat terakhir.

Setelah ini, aku akan menutup kotak biru itu… dan menyimpannya bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran.

Terima kasih, Alya.

Tanpa kamu yang bertahan di masa lalu… aku tak akan menjadi perempuan sekuat ini hari ini.

Dari aku,

Alya yang akhirnya pulih.

Aku melipat surat itu dengan hati-hati.

Memasukkannya ke dalam kotak, lalu menutupnya perlahan.

Aku tak berniat membuangnya. Biarlah kotak itu tetap ada sebagai saksi dari cinta dalam diam yang dulu hampir menghabiskan diriku… tapi justru membentukku menjadi lebih utuh.

Dan malam ini… untuk pertama kalinya, aku tidur dengan hati benar-benar lega.

Tanpa rindu.

Tanpa luka.

Hanya cinta yang akhirnya sampai… pada tempat yang tepat.

Aku Tidak Lagi Mencintai dalam Diam

Dulu, aku mencintai seseorang dengan diam-diam.

Setiap hari, aku menatapnya dari kejauhan, berharap tanpa suara, berdoa tanpa pernah disebutkan namanya.

Setiap malam, aku menulis surat untuknya, tanpa pernah benar-benar punya niat mengirimkan.

Aku menyayanginya tanpa batas tanpa menyentuh.

Aku merindukannya tanpa pernah bisa memanggil.

Tapi kini, aku tak lagi hidup dalam bayang-bayang itu.

Aku sudah menyimpan kisah lama itu di tempat yang seharusnya di rak kenangan.

Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang… dengan senyuman yang tak lagi getir.

Hari ini, aku mencintai seseorang.

Dengan terbuka. Dengan mata saling menatap, tangan saling menggenggam, dan langkah saling menemani.

Bersamanya, aku tak perlu pura-pura kuat. Tak perlu menulis surat rahasia.

Karena bersamanya, aku tidak lagi mencintai dalam diam…

Aku dicintai dengan suara yang lantang, dengan sikap yang nyata, dan dengan hati yang utuh.

Perjalanan ini bukan tentang siapa yang akhirnya bersamaku…

Tapi tentang siapa yang tetap tinggal ketika aku sudah berdamai dengan diriku sendiri.

Dan jika suatu hari aku menoleh ke masa lalu, aku akan berkata kepada gadis yang dulu mencintai dalam diam:

 “Terima kasih telah bertahan. Kini, kita telah sampai. Kita sudah selesai dengan luka. Kita sudah pulih. Dan kita… bahagia.”


Tamat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar