Rabu, 02 Juli 2025

Terjebak Cinta Yang Tak Sepatutnya

Judul: Terjebak Cinta yang Tak Sepatutnya




Namaku Rara. Aku seorang istri dan ibu dari dua anak. Hidupku terlihat baik-baik saja di mata orang lain rumah tangga yang utuh, suami yang bertanggung jawab, dan anak-anak yang sehat. Tapi siapa sangka, di balik semua itu, aku menyimpan rahasia yang tak seharusnya tumbuh: aku mencintai suami orang.

Perkenalanku dengannya, sebut saja namanya Arman, bermula di sebuah acara komunitas. Kami sama-sama menjadi panitia kegiatan sosial. Dia pria tenang, sabar, dan punya cara bicara yang menenangkan. Saat itu, aku hanya mengaguminya sebagai teman. Tapi kekaguman itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Entah sejak kapan, setiap pesan darinya membuat hatiku berdebar, setiap senyumnya mengusik pikiranku.

Aku mencoba melawan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku: aku sudah bersuami, begitu pula dia. Tapi hati kadang begitu lemah. Aku mulai membandingkan Arman dengan suamiku. Aku mulai merasa suamiku tak lagi romantis, tak mengerti aku, tak mendengarkan seperti Arman mendengarkanku. Padahal mungkin, sebenarnya akulah yang mulai menutup hati pada suamiku.

Hubungan kami dengan Arman tidak pernah melewati batas. Tapi perasaan itu sudah lebih dari cukup membuatku merasa bersalah. Aku tahu ini salah. Tapi rasa itu terlalu kuat untuk kuanggap angin lalu.

Suatu hari, saat hujan deras mengguyur kota, aku duduk sendiri di dalam mobil dan menangis. Aku sadar, aku berada di ambang jurang. Jika aku terus melanjutkan perasaan ini, aku bisa menghancurkan dua keluarga sekaligus keluargaku dan keluarganya.

Aku menghubungi Arman dan memintanya bertemu, untuk terakhir kalinya. Di sebuah taman yang sepi, dengan wajah basah air mata, aku berkata, “Kita harus berhenti. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi justru karena aku mencintaimu. Aku ingin kamu tetap menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu, dan aku ingin kembali menjadi istri yang utuh untuk suamiku.”

Arman hanya mengangguk. Matanya juga basah. Tak ada pelukan, tak ada genggaman tangan. Hanya dua hati yang saling melepaskan, demi orang-orang yang mereka sayangi.

Sejak hari itu, aku mencoba memperbaiki hubunganku dengan suami. Aku belajar membuka hati kembali, belajar mencintai yang halal dan memperbaiki yang hampir retak. Cinta terlarang itu telah berlalu, tapi bekasnya menjadi pelajaran paling berarti dalam hidupku.

 Luka yang Tak Terlihat

Hari-hari setelah perpisahan itu berjalan seperti biasa di permukaan, tapi di dalam diriku, ada yang sunyi. Aku kembali menjalankan peran sebagai istri, memasak, mencuci, menyiapkan keperluan anak-anak. Tapi hatiku belum sepenuhnya kembali. Kadang, saat duduk di ruang tamu, aku tanpa sadar menatap kosong, mengingat tawa Arman atau kata-katanya yang pernah membuatku merasa "terdengar".

Suamiku, Dimas, mulai menyadari perubahan itu. Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, dia mendekatiku dengan nada suara yang lembut namun serius.

"Ra... kamu kenapa akhir-akhir ini? Kamu di rumah, tapi seperti bukan di sini."

Aku terdiam. Ingin sekali berkata jujur, bahwa aku nyaris kehilangan arah, bahwa aku pernah mencintai lelaki lain. Tapi bibirku tak mampu mengucapkannya. Yang keluar hanyalah, “Aku cuma capek... capek sama semua ini.”

Dimas tidak bertanya lebih jauh. Tapi sejak malam itu, dia mulai berubah. Dia lebih perhatian, sering mengajakku bicara, kadang mengajak jalan tanpa anak-anak. Aku merasa bersalah. Seharusnya aku yang memperbaiki, tapi justru dia yang berusaha lebih keras.

Di sisi lain, aku masih bertemu Arman sesekali di kegiatan sosial. Kami tak pernah lagi bicara panjang. Hanya sapaan singkat dan senyum yang penuh luka. Dan setiap kali aku melihatnya, aku tahu cinta itu belum benar-benar padam, hanya kami paksa untuk diam.

Sampai pada suatu hari, istrinya Arman datang menemuiku. Tanpa banyak basa-basi, dia berkata, “Aku tahu ada yang pernah terjadi antara kamu dan suamiku. Aku tak mau tahu sejauh apa. Tapi satu hal: terima kasih karena kamu memilih berhenti.”

Aku hanya bisa menunduk. Malu, sedih, dan lega bersatu dalam dada. Dia berdiri dengan anggun, kuat meski jelas terluka.

Hari itu menjadi titik akhir. Aku sadar bahwa aku tak bisa terus hidup dalam dua dunia. Aku memilih kembali pulang sepenuhnya. Mungkin butuh waktu lama untuk benar-benar melupakan, tapi aku harus bertahan. Karena cinta bukan hanya tentang rasa ia tentang tanggung jawab, tentang pilihan, dan tentang keberanian untuk menghentikan yang salah.

Sekarang, aku menjalani hari-hari dengan jujur. Mencintai suamiku lagi, meski pelan. Belajar mencintai kehidupan yang dulu sempat ingin kutinggalkan. Luka itu tetap ada, tapi kini menjadi pengingat bahwa cinta yang sejati bukanlah yang membuat kita melupakan siapa diri kita, tapi yang menuntun kita pulang.

Dari Mata Seorang Suami

Aku bukan suami yang sempurna. Aku tahu itu. Aku tidak selalu peka, kadang terlalu sibuk mencari nafkah, dan mungkin tidak cukup memberi perhatian seperti dulu saat awal pernikahan. Tapi aku mencintai Rara istriku, ibu dari anak-anakku. Cintaku mungkin tidak selalu romantis, tapi nyata dan tulus.

Beberapa bulan yang lalu, aku mulai merasa ada yang berubah. Rara lebih sering diam. Matanya seperti menatap jauh, padahal hanya duduk di depan televisi. Dia tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu, tapi aku bisa merasakan... jiwanya seperti tak sepenuhnya di rumah.

Awalnya aku pikir dia hanya lelah. Tapi ketika perubahan itu terus berlanjut, aku mulai resah. Aku perhatikan dia sering memandangi ponsel lalu cepat-cepat menyimpannya. Kalau aku dekati, senyumnya kaku.

Aku bukan detektif, bukan pula orang yang mudah curiga. Tapi sebagai suami, aku bisa merasakan ketika hati istriku mulai menjauh, meski tubuhnya masih di sampingku.

Malam itu, aku memberanikan diri bicara. Aku tidak menuduh. Aku hanya bertanya, "Rara, kamu kenapa?"

Jawabannya singkat, “Aku cuma capek.” Tapi ada sesuatu dalam suaranya yang tidak bisa aku jelaskan. Seperti ada yang ia tahan.

Aku tidak mengejarnya dengan pertanyaan. Tapi aku putuskan satu hal malam itu: aku harus berjuang. Mungkin aku yang terlalu lama membiarkan cinta kami berjalan seadanya. Mungkin aku juga bagian dari masalah ini.

Aku mulai mengajak Rara ngobrol lagi, walau kadang dia hanya menjawab seperlunya. Aku mulai membuatkan teh sore-sore, kadang memijat pundaknya, atau sekadar duduk diam di sampingnya sambil mendengarkan musik lama yang dulu kami suka. Pelan-pelan, dia mulai membuka diri. Senyumnya kembali, meski tak secerah dulu.

Lalu suatu hari, aku mendapat pesan anonim. Hanya dua kalimat pendek:

“Jagalah istrimu. Ia pernah hampir jatuh.”

“Syukurlah dia memilih pulang.”

Aku tak tahu siapa yang mengirim. Tapi aku tak perlu bertanya lebih jauh. Hatiku langsung tahu.

Malam itu aku menangis diam-diam. Bukan karena marah. Tapi karena campur aduk sakit, syukur, dan cinta yang ternyata harus diuji begitu dalam.

Tapi satu hal yang pasti: aku memilih memaafkan. Karena dia pulang. Dan karena aku mencintainya.

Kini, cinta kami tak lagi sama seperti dulu. Tapi justru lebih jujur, lebih dewasa. Ada luka di antara kami, tapi juga ada tekad untuk terus bertahan. Untuk anak-anak kami. Dan untuk janji yang dulu pernah kami ikrarkan:

“Dalam suka dan duka. Dalam setia dan luka.”

 Cinta yang Tak Punya Tempat

Namaku Arman. Aku suami dari Livia, ayah dari dua anak perempuan kecil yang lincah. Hidupku berjalan lurus, tenang, bahkan bisa dibilang cukup sempurna. Sampai aku bertemu dia Rara.

Kami bertemu di kegiatan sosial lingkungan. Saat itu, aku melihatnya sebagai perempuan yang hangat, ramah, dan begitu tulus dalam berbicara. Tidak ada niat apa pun saat awal kami mengenal. Tapi semakin sering kami bekerja sama, semakin banyak obrolan-obrolan ringan yang membuatku merasa… nyaman. Terlalu nyaman.

Aku tahu dia sudah bersuami. Dan aku pun begitu. Tapi rasa tidak pernah peduli pada status. Ia tumbuh diam-diam, melewati batas yang seharusnya dijaga. Dan sebelum aku sadar, aku menantikan setiap pertemuan dengannya. Senyumnya membuat hariku lebih cerah. Pesan-pesannya membuat malamku terasa lebih hidup.

Kami tidak pernah menyentuh batas fisik. Tapi perasaan kami sudah lebih dari sekadar teman. Itu cukup membuatku takut.

Setiap pulang ke rumah, aku menatap Livia istriku yang tidak tahu apa-apa. Dia tetap mencintaiku dengan caranya yang lembut. Tapi rasa bersalah menggantung seperti bayangan di belakang punggungku. Aku tahu aku harus menghentikannya, tapi aku terlalu lemah. Sampai akhirnya Rara sendiri yang mengatakannya lebih dulu.

Saat itu hujan turun deras. Kami duduk di taman kecil, dan dia berkata pelan tapi tegas, "Kita harus berhenti. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi justru karena aku mencintaimu."

Hatiku hancur. Tapi aku tahu dia benar. Kami tidak bisa saling memiliki. Cinta kami tak punya tempat. Dunia ini tak menyediakan ruang bagi cinta yang mengkhianati.

Setelah perpisahan itu, aku berusaha menjadi suami yang lebih baik. Aku lebih sering memeluk Livia, lebih hadir di rumah. Tapi ada bagian dari hatiku yang tetap membisu. Bagian itu tetap menyimpan nama Rara, seperti rahasia yang hanya diketahui langit.

Sampai suatu hari, Livia menatap mataku dan berkata, “Aku tahu ada yang terjadi antara kamu dan dia. Aku tidak mau tahu sejauh apa. Tapi aku memilih memaafkanmu… karena kamu tidak pergi.”

Aku terdiam. Dunia seakan runtuh di dalam diriku. Tapi aku juga merasa lega. Karena ternyata, cinta sejati itu bukan tentang rasa yang membara tapi tentang siapa yang tetap tinggal ketika badai menerpa.

 Aku yang Tidak Pergi

Namaku Livia. Istri dari Arman. Mungkin di mata orang lain aku adalah perempuan yang beruntung punya suami penyayang, keluarga yang utuh, anak-anak yang sehat. Tapi mereka tak tahu bahwa aku pernah merasakan runtuhnya kepercayaan, meski tak pernah mendengar langsung pengakuan.

Aku bukan perempuan bodoh. Seorang istri pasti bisa merasakan saat cinta suaminya terbagi. Tatapan yang tak lagi sama, senyuman yang mulai kosong, dan cara bicara yang berubah. Semua itu adalah bahasa yang tak pernah diucapkan, tapi bisa terdengar jelas oleh hati seorang istri.

Aku tahu tentang Rara. Bukan karena aku memata-matai, tapi karena instingku menuntunku ke arah itu. Aku melihat cara mereka saling menatap dalam rapat, bagaimana suamiku tersenyum setiap kali menerima pesan masuk di ponselnya. Semua potongan itu tak perlu dijelaskan lebih jauh. Aku cukup tahu.

Sakit? Tentu. Rasanya seperti tertusuk dari dalam. Tapi aku memilih diam. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku ingin melihat apakah dia akan kembali sendiri… atau aku harus kehilangan semuanya.

Dan ternyata… dia kembali.

Bukan dengan kata-kata manis. Bukan dengan permintaan maaf yang dramatis. Tapi dengan perubahan. Arman mulai sering di rumah, lebih sering memeluk anak-anak, memelukku tanpa alasan. Aku tahu dia sedang menebus sesuatu. Dan aku… memilih untuk tidak mengungkit luka itu.

Tapi suatu hari, aku berdiri di hadapan Rara. Entah bagaimana, takdir mempertemukan kami dalam situasi yang hening. Aku menatapnya, dan dalam matanya aku melihat rasa bersalah yang dalam. Aku hanya berkata,

“Aku tahu. Tapi aku tidak datang untuk marah. Aku hanya ingin bilang… terima kasih. Karena kamu memilih berhenti.”

Itu saja. Tidak ada kemarahan, tidak ada air mata di depan matanya. Tapi saat aku pulang malam itu, aku menangis. Bukan karena ingin menyerah, tapi karena aku merasa akhirnya menang. Aku tidak membalas dengan dendam, tidak membalas dengan kebencian. Dan yang paling penting: aku tidak pergi.

Kini aku tahu, pernikahan bukan tentang selalu bahagia. Tapi tentang bagaimana kita berdiri ketika badai datang, dan tetap memilih untuk bertahan, bahkan ketika luka masih basah.

Aku tak pernah bilang bahwa aku melupakan. Tapi aku memilih memaafkan. Karena dari semua cinta yang pernah datang dalam hidup Arman, akulah yang ia pilih untuk tetap pulang

 Jalan Pulang

Waktu terus berjalan. Luka perlahan sembuh, meski bekasnya tetap tinggal. Rara kini menjalani hidupnya dalam diam yang lebih tenang. Ia tak lagi sibuk mencari apa yang kurang dari suaminya, tapi mulai menghargai apa yang masih ia punya: keluarga yang tetap bersamanya.

Dimas, suaminya, tidak pernah meminta penjelasan lebih. Ia memilih mencintai tanpa banyak tanya. Karena kadang, yang lebih penting dari mengetahui kebenaran adalah memilih untuk memeluk, bukan menghakimi. Cinta, baginya, adalah menerima manusia yang bisa salah, dan memilih tetap berjalan bersama meski pernah goyah.

Arman dan Livia kini semakin sering terlihat bersama anak-anak mereka di akhir pekan. Livia tidak pernah benar-benar melupakan, tapi dia tahu: cinta yang telah dimaafkan punya kekuatan lebih besar dari cinta yang hanya diungkapkan lewat kata-kata.

Arman tidak pernah mencari Rara lagi. Tapi dalam dirinya, ia menyimpan rasa hormat yang dalam. Kepada perempuan yang pernah ia cintai, dan yang memilih untuk tidak menghancurkan apa yang tidak bisa mereka bangun bersama.

Dan Rara? Sesekali, saat senja turun dan anak-anaknya tertidur, ia duduk di teras rumah dengan segelas teh hangat. Di sanalah ia menatap langit dan mengingat masa lalu itu. Bukan dengan penyesalan, tapi dengan pemahaman.

Bahwa tidak semua cinta harus dimiliki.

Bahwa tidak semua rasa harus diperjuangkan.

Bahwa kadang, mencintai berarti berani melepaskan.

Ia tersenyum kecil. Bukan karena bahagia. Tapi karena akhirnya ia pulang pada suaminya, pada keluarganya, dan yang paling penting… pada dirinya sendiri.

Cinta yang Tidak Dimiliki, Tapi Dimengerti

Waktu adalah penyembuh yang tidak pernah terburu-buru. Ia datang pelan-pelan, seperti embun yang tak terdengar, tapi membasahi hati yang kering.

Beberapa tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Tak ada lagi pesan singkat yang tersembunyi. Tak ada lagi tatapan yang menyimpan rahasia. Semuanya sudah kembali ke tempat yang seharusnya meski tak sepenuhnya sama.

Rara kini hidup lebih jujur. Ia tahu, cinta tidak selalu datang pada waktu dan tempat yang benar. Tapi kesalahan itu bukan alasan untuk terus terjatuh. Ia memilih berdiri. Ia memilih suaminya. Dan ia belajar mencintai kembali, bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena ia memilih untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diperbaiki.

Dimas tidak pernah menyebut masa lalu. Tapi cintanya kini lebih dalam dari sebelumnya. Karena ia mencintai Rara dengan luka yang sudah dimaafkan. Bukan cinta yang naif, tapi cinta yang kuat karena pernah hampir kehilangan.

Arman dan Livia tetap bersama. Ada jeda yang pernah hadir, tapi kini tertutupi oleh waktu dan keberanian untuk saling terbuka. Arman tidak mencari pengganti rasa yang dulu ia miliki. Ia tahu, yang hilang tak harus kembali. Karena di sisinya, ada perempuan yang tidak pergi, bahkan saat hatinya nyaris dikhianati.

Dan Livia, mungkin dialah tokoh paling kuat dalam kisah ini. Ia tidak berteriak, tidak marah, tidak menyerah. Tapi ia berdiri dalam diam, mengampuni, dan menyambut suaminya kembali dengan dada yang lebih lapang dari rasa sakitnya sendiri.

Mereka semua pernah terluka oleh cinta. Tapi mereka juga memilih untuk bertahan karena cinta. Mungkin itu cara Tuhan menunjukkan bahwa cinta bukan hanya soal rasa… tapi soal siapa yang tetap tinggal, saat rasa itu diuji.

Dan begitulah cinta…

Tidak semua cinta harus berujung memiliki.

Kadang cinta hanya datang untuk menguji hati.

Tapi jika kita cukup kuat untuk jujur, cukup berani untuk melepaskan,

dan cukup setia untuk kembali pulang

maka cinta itu akan menemukan bentuk terbaiknya.

Bukan dalam pelukan yang salah,

tapi dalam rumah yang tak pernah berhenti menunggu.

Suatu hari, tanpa sengaja, Rara dan Arman bertemu kembali. Bukan di rapat, bukan di acara komunitas, tapi di sebuah toko buku kecil di pinggir kota. Masing-masing datang bersama anak mereka.

Tak ada degup jantung seperti dulu. Tak ada getaran aneh di dada. Hanya sapaan biasa antara dua orang dewasa yang pernah saling mencintai dalam diam.

“Rara.”

“Arman.”

Mereka tersenyum. Sebentar. Lalu diam.Anak-anak mereka berlarian di lorong buku anak, tertawa lepas tanpa beban. Dan di tengah tawa itu, mereka berdua menyadari sesuatu:

Bahwa cinta yang dulu pernah membuat mereka lemah… kini sudah tidak lagi mengikat.

Mereka telah sembuh.

Saling memaafkan tanpa harus meminta maaf.

Saling mengikhlaskan tanpa harus mengucap selamat tinggal lagi.

Dan yang paling penting… mereka saling mendoakan dari kejauhan.

Lalu mereka kembali ke hidup masing-masing.

Rara kembali ke Dimas, yang kini lebih sering menggenggam tangannya di setiap perjalanan.

Arman kembali ke Livia, yang kini lebih sering ia pandangi dengan rasa syukur diam-diam.

Karena ternyata, cinta yang paling kuat bukanlah cinta yang membuatmu melayang, tapi cinta yang membuatmu tetap tinggal, saat segala godaan ingin membuatmu pergi.Tentang Cinta, Pilihan, dan Pengampunan

Kisah Rara, Dimas, Arman, dan Livia bukan sekadar cerita tentang cinta terlarang. Bukan pula drama pengkhianatan semata. Tapi ini adalah cerita tentang manusia yang bisa salah, bisa lemah, dan bisa jatuh. Tapi juga bisa memilih bangkit dan menebus semuanya dengan kesetiaan yang sunyi.

Rara pernah kehilangan arah, saat hati menemukan pelarian dari luka yang tak pernah benar-benar ia bicarakan dengan suaminya. Tapi ia tak membiarkan dirinya terseret lebih jauh. Ia memilih pulang. Dan pulang, bagi hati yang sempat sesat, adalah keberanian yang tidak semua orang punya.

Dimas mencintai dalam diam. Ia tahu. Ia merasa. Tapi ia tak memilih amarah. Ia memilih bertahan. Karena mencintai bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang memelihara meski luka harus ikut ia rawat sendiri.

Arman mencintai, lalu kehilangan. Tapi ia tidak memaksakan cinta itu untuk hidup di tempat yang salah. Ia melepaskan, bukan karena tak cinta, tapi karena ia tahu: setia kepada keluarganya adalah cinta yang paling benar.

Livia adalah simbol cinta yang paling tenang. Ia tahu semuanya, tapi tidak menyulut api. Ia memilih menjadi api kecil yang tetap menyala di rumahnya, bahkan saat badai nyaris memadamkan semuanya. Dan justru karena itulah ia menang.

Kini mereka semua hidup, bukan seperti dulu. Tapi seperti versi baru dari diri mereka yang telah melalui badai. Luka mereka tidak hilang, tapi mereka berdamai. Bukan dengan masa lalu, tapi dengan diri sendiri.

Dan bukankah itu inti dari kehidupan?

Bahwa tak semua cinta harus dimiliki.

Bahwa kesetiaan bukan tentang tak pernah tergoda,

tapi tentang memilih untuk tetap tinggal meski sempat terguncang.

Bahwa memaafkan bukan berarti melupakan,

tapi berarti menghargai apa yang masih bisa diselamatkan.

Kisah ini selesai. Tapi bekasnya akan selalu ada.

Sebagai pengingat: bahwa cinta… sejatinya adalah pilihan.

Dan kadang, cinta terbaik adalah yang tidak diperjuangkan untuk dimiliki

tapi dipilih untuk dilepaskan… demi sesuatu yang lebih suci: keluarga, keutuhan, dan pengampunan.

Ketika Hati Sudah Kembali ke Tempatnya

Tahun demi tahun berlalu. Tidak ada yang lagi membicarakan masa lalu itu. Tidak ada yang mengungkitnya. Dunia tetap berputar, anak-anak tumbuh, dan lembaran hidup terus terbuka satu per satu.

Rara kini menjalani hari-hari sebagai perempuan yang lebih tenang. Ia tak lagi mengisi kekosongan dengan pelarian, tapi dengan ketulusan yang perlahan ia bangun kembali bersama Dimas. Rumah tangga mereka tak lagi sempurna tapi kini lebih kuat karena pernah melewati badai.

Dimas pun berubah. Ia kini lebih sering mendengar, lebih sering hadir, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara hati. Ia tahu, rasa sakit tidak selalu hilang… tapi bisa dikalahkan dengan kebaikan yang konsisten.

Mereka kini sering duduk berdua di teras rumah setelah anak-anak tidur. Tak banyak kata, hanya saling pandang. Tapi dari diam itu, lahir rasa syukur: bahwa mereka masih di sini, masih bersama, dan masih mencintai, dengan cara yang lebih matang.

Sementara itu, Arman dan Livia memilih hidup yang lebih sederhana. Mereka pindah ke kota yang lebih kecil, meninggalkan hiruk-pikuk sosial dan pergaulan lama yang menyimpan terlalu banyak jejak. Di tempat baru itu, mereka membangun ulang kepercayaan dari nol. Dan meski butuh waktu, kini Livia bisa tersenyum lagi tanpa menyimpan curiga di hatinya.

Arman tak lagi menoleh ke belakang. Ia tahu, rasa itu pernah ada, tapi tidak akan kembali. Dan ia tak mau kembali. Karena yang sekarang ia miliki adalah cinta yang bertahan melewati badai dan itu lebih berarti dari cinta yang hanya terasa indah dalam bayang-bayang.

Rara dan Arman tak pernah saling menghubungi lagi. Nama mereka tidak muncul di daftar pesan mana pun. Mereka memilih untuk membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu.

Tapi jika suatu saat, mereka saling melihat dari kejauhan mungkin di sebuah pusat perbelanjaan, atau di pesta anak teman lama mereka hanya akan saling tersenyum kecil… sebagai tanda:

“Kita pernah hampir hancur, tapi kita memilih sembuh.”

Dan inilah akhirnya.

Bukan akhir dari cerita,

tapi akhir dari satu bagian hidup yang pernah salah arah

namun berhasil menemukan jalan pulangnya.

Karena dalam hidup, tidak semua cinta harus dimenangkan.

Kadang cinta terbaik adalah cinta yang dibiarkan pergi…

agar hati kembali pada tempat yang seharusnya.

Dan kini, hati mereka… telah kembali


TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar