Judul: “Aku di Tengah Rumah, Tapi Terasa Sendiri”
Aku tidak tahu kapan tepatnya semuanya mulai terasa hampa. Hari-hari di rumah seperti lembaran kertas kosong berjalan begitu saja, tanpa warna, tanpa suara yang menyentuh hati. Aku bangun, melakukan semua rutinitas sebagai istri, ibu, anak tapi di dalam diriku, seolah tak ada siapa-siapa.
Aku masih tersenyum. Masih menyiapkan makanan, menyapu rumah, menjawab pertanyaan, bahkan masih bisa tertawa kalau ada yang lucu di televisi. Tapi itu hanya kulit luar. Di dalam hati, ada ruang kosong yang menganga. Tidak ada rasa hangat, tidak ada kebahagiaan yang dulu mungkin pernah aku rasakan.
Aku berjalan di rumah seperti bayangan. Suara anak-anakku tak lagi membuatku tersentuh. Tatapan suamiku seperti asing. Dan orang-orang di rumah, mereka berbicara padaku seperti biasa, tapi tak satu pun dari mereka bertanya: “Apa kamu bahagia?”
Aku pun tidak tahu jawabannya.
Apakah aku lelah? Mungkin. Tapi lebih dari sekadar lelah fisik. Ini adalah lelah batin, lelah yang membuatku ingin diam berlama-lama di kamar, atau sekadar menatap tembok putih tanpa berpikir apa-apa. Kadang aku ingin pergi. Tapi ke mana? Aku bahkan tidak tahu tempat seperti apa yang bisa membuatku merasa ‘ada’.
Dulu aku punya mimpi. Dulu aku punya tawa yang jujur, air mata yang keluar karena haru, bukan karena putus asa dalam diam. Tapi sekarang semua seperti lenyap. Aku menjalani kehidupan ini karena aku harus. Karena orang-orang di rumah membutuhkan aku. Tapi siapa yang memeluk aku saat aku mulai patah?
Aku mulai tidak merasakan apa-apa, bahkan pada hal-hal yang dulu membuatku tersenyum. Foto-foto keluarga, suara anak-anak tertawa, bahkan ucapan ulang tahun darinya... semua hanya terdengar lewat telinga, tidak masuk ke hati.
Aku tahu, ini bukan salah mereka sepenuhnya. Mungkin ini juga salahku yang terlalu lama menahan luka, terlalu banyak memendam kecewa. Sampai akhirnya, hatiku jadi beku. Mati rasa.
Aku masih di sini. Di rumah ini. Dengan orang-orang yang kupanggil keluarga. Tapi entah sampai kapan aku bisa bertahan tanpa benar-benar merasa hidup.
“Aku di Tengah Rumah, Tapi Terasa Sendiri”
Hari demi hari berlalu seperti angin. Kadang tenang, kadang menyakitkan. Tapi satu hal yang tetap: aku tidak lagi merasa bahagia.
Anak-anakku tumbuh, mereka berbicara, mereka minta perhatian, dan aku berusaha menjawabnya. Tapi seringkali hatiku tidak ikut hadir. Aku mengangguk, aku tersenyum... tapi kosong. Seolah aku sedang memainkan peran di panggung kehidupan yang tidak pernah aku pilih. Aku ingin mencintai mereka seperti dulu. Tapi yang kurasa hanya lelah, tanpa semangat.
Suamiku... dia sibuk dengan urusannya. Pulang, duduk, lalu tenggelam dalam layar ponsel atau televisi. Kami tidur satu ranjang, tapi jarak hati kami sudah seperti dua benua yang tak lagi bersentuhan. Aku pernah mencoba bicara, pelan-pelan. Tapi responnya selalu sama: “Kamu terlalu banyak mikir.” Atau: “Semua orang juga capek.” Dan aku akhirnya diam. Lagi.
Kadang aku duduk di kamar mandi lebih lama dari seharusnya. Bukan karena sedang mandi. Tapi karena di situlah satu-satunya tempat aku bisa menangis tanpa suara. Air mata itu menetes bukan karena ada yang memukulku. Tapi karena hatiku seperti sudah tidak punya tempat di rumah sendiri.
Aku mulai takut. Takut kalau perasaan ini akan mengubahku jadi seseorang yang dingin selamanya. Takut kalau aku akan berhenti mencintai semua orang. Bahkan lebih parah: takut aku akan berhenti mencintai diriku sendiri.
Tapi di tengah kehampaan itu, ada satu momen yang membuatku terdiam cukup lama.
Suatu malam, anakku yang paling kecil menghampiriku. Dia memelukku erat, lalu bilang, “Mama, kenapa mama sekarang jarang peluk aku?”
Kalimat itu seperti tamparan. Aku ingin jawab, ingin bilang “Maaf, Nak, Mama sedang kosong... Mama kehilangan arah.” Tapi yang keluar hanya air mata. Aku peluk dia sangat erat. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama... aku merasa sedikit hangat.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Kata-kata anakku terus terngiang. Di sanalah aku sadar, mungkin aku memang sedang jatuh... tapi belum sepenuhnya hancur. Aku masih punya satu alasan untuk mulai perlahan bangkit: anak-anak yang masih menunggu pelukanku. Diriku sendiri yang masih ingin hidup, bukan sekadar bertahan.
Aku tidak tahu bagaimana caranya kembali bahagia. Tapi aku tahu, aku butuh bantuan. Mungkin dari teman. Mungkin dari doa. Mungkin dari seseorang yang benar-benar mau mendengarkan, tanpa menghakimi.
Tapi yang paling penting... aku ingin mulai mendengarkan diriku sendiri lagi. Aku ingin belajar mencintai diriku sendiri. Walau perlahan. Walau dari nol.
Karena aku layak bahagia. Aku layak merasa hidup, bukan hanya menjadi bayangan di rumah sendiri.
Setelah malam itu, aku mulai mencoba sesuatu yang selama ini kulupakan: mengenali diriku sendiri.
Aku mulai dari hal kecil sangat kecil. Bangun lebih pagi hanya untuk duduk sendiri, menikmati secangkir teh hangat sambil menuliskan isi hati di buku catatan lama. Di sana, aku tulis semua yang kupendam, tanpa sensor, tanpa takut dihakimi. Kata-kata yang dulu hanya menari di kepalaku kini tertuang di atas kertas tentang marahku, kecewaku, rinduku, dan inginku untuk dicintai.
Rasanya seperti mengupas luka satu demi satu. Sakit, tapi entah kenapa juga terasa melegakan.
Aku juga mulai menolak beberapa hal yang selama ini kulakukan hanya karena “harus”. Aku tak lagi memaksakan senyum kalau sedang tidak sanggup. Aku tidak lagi mengiyakan semua permintaan hanya karena takut dianggap tak berguna. Pelan-pelan, aku belajar berkata “tidak”, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Tentu tidak mudah. Banyak hari di mana aku kembali menangis. Ada momen-momen di mana aku merasa usahaku sia-sia, karena orang-orang di rumah tidak berubah. Mereka masih sibuk dengan dunianya masing-masing. Tapi kali ini, aku mencoba tidak terlalu berharap mereka akan menyelamatkanku.
Karena aku sedang belajar menyelamatkan diriku sendiri.
Aku mulai mencari waktu untuk melakukan hal-hal yang kusukai. Menulis. Mendengarkan musik tanpa gangguan. Berjalan sendiri di pagi hari. Aku menyadari bahwa kebahagiaan bukan sesuatu yang harus datang dari orang lain. Kadang ia bisa tumbuh dari dalam, jika kita memberi ruang untuk itu.
Ada juga momen di mana aku membuka percakapan baru dengan suamiku. Tidak lagi menuntut. Tapi jujur. Aku bilang, “Aku merasa tidak bahagia. Aku tidak menyalahkanmu, tapi aku juga tidak ingin berpura-pura terus.” Dia diam. Tapi tidak marah. Mungkin dia butuh waktu juga. Tapi paling tidak, aku sudah bicara. Dan itu membuatku merasa sedikit lebih kuat.
Anak-anakku juga mulai merasakan perubahanku. Aku lebih sering memeluk mereka, menatap mereka dengan mata yang tidak kosong. Mungkin mereka belum mengerti sepenuhnya. Tapi mereka bisa merasakan. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku mendengar tawa mereka menyentuh hatiku.
Aku tahu jalan ini masih panjang. Ada hari baik, ada hari buruk. Tapi sekarang aku berjalan dengan lebih sadar. Tidak lagi seperti bayangan. Aku masih seorang istri. Seorang ibu. Tapi yang terpenting, aku juga seorang perempuan yang punya hati, luka, dan harapan.
Aku masih di rumah ini. Tapi kini aku mulai merasa: aku kembali ada.
Waktu terus berjalan. Aku mulai sadar, bahwa mencintai diri sendiri bukan hal egois. Justru itu pondasi agar aku bisa benar-benar mencintai orang lain tanpa kehilangan jiwaku.
Pada suatu sore, saat anak-anak sedang tidur siang dan rumah cukup sunyi, aku membuka ponselku. Kuketik kata kunci: keluarga, perasaan hampa, ingin bicara. Dan muncullah beberapa artikel dan forum. Aku membaca kisah-kisah orang asing perempuan-perempuan yang juga pernah merasa kosong, tak bahagia, dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Di sana, aku tidak merasa sendirian lagi.
Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri menghubungi satu nomor dari sebuah komunitas dukungan psikologis. Aku tidak langsung bertemu orang, hanya mengobrol lewat pesan. Tapi dari obrolan itu, ada satu kalimat yang menusuk dan menyentuhku:
"Kamu berhak merasa lelah. Tapi kamu juga berhak pulih."
Dan aku pun menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena merasa... didengar.
Lambat laun, aku mulai mengikuti sesi konseling online. Aku belajar menyebutkan perasaanku satu per satu. “Saya kecewa.” “Saya tidak merasa dicintai.” “Saya ingin dimengerti.” Kalimat-kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi untuk mengucapkannya dengan jujur, aku butuh keberanian yang tidak sedikit.
Di luar itu, aku juga mulai ikut pertemuan kecil bersama beberapa perempuan lain yang juga sedang berjuang menyembuhkan luka batin. Kami bercerita, tertawa, menangis, dan saling menguatkan. Di sana, aku merasa diterima, tanpa harus berpura-pura kuat.
Suamiku perlahan mulai memperhatikan. Mungkin karena aku mulai berubah. Bukan berubah jadi sempurna, tapi jadi lebih jujur. Kami mulai bicara lagi, tentang hal-hal kecil. Tentang siapa yang akan jemput anak, tentang rasa capek, tentang kenangan lama. Ada hari di mana semuanya terasa ringan, dan aku mulai menyimpan harapan kecil: mungkin semuanya bisa diperbaiki. Bukan dengan keajaiban, tapi dengan kejujuran dan usaha yang konsisten.
Dan soal anak-anak... mereka adalah cahaya kecil yang menuntunku keluar dari lorong gelap. Setiap kali tangan kecil mereka menggenggam tanganku, aku merasa ada alasan untuk tetap bertahan.
Aku masih berproses. Masih sering gagal. Tapi kini aku punya arah. Aku tahu: aku tidak ingin mati rasa lagi. Aku ingin benar-benar hidup, meski penuh luka. Karena luka bukan akhir dari segalanya. Kadang, luka adalah pintu yang menuntun kita pulang pulang ke diri kita sendiri.
Hari ini aku duduk di beranda rumah. Sinar matahari sore menyentuh pipiku dengan hangat. Di kejauhan terdengar suara anak-anak bermain dan tertawa. Dulu, suara seperti ini hanya berlalu begitu saja di telingaku. Tapi sekarang… aku bisa merasakannya.
Bukan, hidupku belum sempurna. Rumah tanggaku juga tidak tiba-tiba menjadi indah seperti cerita dongeng. Tapi sekarang aku menjalani semua ini dengan hati yang mulai terbuka. Luka-lukaku memang belum sepenuhnya sembuh, tapi aku tidak lagi membiarkannya membusuk dalam diam.
Aku sudah tidak lagi menuntut orang lain untuk membuatku bahagia. Karena kini aku tahu, kebahagiaan tidak datang dari luar, melainkan tumbuh dari dalam dari hal kecil yang aku pelajari setiap hari: memaafkan, menerima, merelakan, dan mencintai tanpa mengorbankan diriku sendiri.
Suamiku kini lebih banyak mendengarkan. Kami masih berproses, masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi setidaknya kami sudah belajar satu hal penting: bahwa saling memahami lebih penting daripada saling menyalahkan.
Anak-anakku pun menjadi kekuatanku. Mereka tidak tahu betapa gelapnya dunia dalam hatiku dulu. Tapi mereka ada di sana mengulurkan tangan kecil mereka, menarikku kembali ke cahaya. Dan untuk itu, aku akan selalu bersyukur.
Dan diriku sendiri… aku tidak lagi memusuhi perempuan yang kulihat di cermin. Aku menyapanya setiap pagi, berkata: “Terima kasih karena masih bertahan. Kamu kuat, bahkan saat merasa paling rapuh.”
Kini aku tidak lagi hidup sebagai bayangan di rumah sendiri.
Aku hadir. Aku hidup. Aku mencintai diriku.
Dan itu, adalah awal dari segalanya.
Setelah semua rasa hampa, luka, dan perjuangan dalam diam… hari-hariku perlahan mulai berubah. Bukan karena keajaiban, tapi karena keberanian kecil yang kuambil satu per satu: untuk jujur, untuk meminta tolong, dan untuk memulai lagi.
Kini aku mulai mencintai rutinitas yang dulu terasa membosankan. Bukan karena semuanya jadi indah, tapi karena aku menjalani setiap langkah dengan penuh kesadaran. Saat menyiapkan sarapan, aku tak lagi sekadar bergerak seperti robot. Aku mulai menyadari aroma teh, suara sendok, bahkan detak jam di dinding. Hal-hal kecil yang dulu luput karena pikiranku terlalu penuh dengan beban.
Aku juga mulai menata ulang ruang dalam rumah, sekaligus ruang dalam hatiku. Ada sudut kecil di kamar yang kusiapkan hanya untuk diriku sendiri tempatku membaca, menulis, atau sekadar menarik napas panjang saat dunia terasa berat. Aku menyebutnya: “tempat pulang dalam diriku.”
Suamiku, meski tak sempurna, mulai menunjukkan perubahan. Kami kini belajar bicara dari hati, bukan dari kemarahan atau tekanan. Kami masih punya banyak kekurangan. Tapi kami juga punya keinginan yang sama: memperbaiki, bukan menyakiti.
Aku pun lebih banyak tersenyum saat melihat anak-anakku. Bukan lagi senyum palsu. Tapi senyum yang datang dari hati yang mulai pulih. Ketika mereka memelukku, aku bisa membalas dengan penuh perasaan. Ketika mereka salah, aku bisa memarahi dengan cinta, bukan dari kemarahan yang dipendam terlalu lama.
Dan diriku sendiri aku kini tak lagi malu menangis, karena aku tahu itu bagian dari proses. Aku juga tak lagi menuntut diriku untuk selalu kuat. Aku membiarkan diriku istirahat, tertawa, gagal, dan mulai lagi. Karena hidup bukan tentang harus sempurna. Tapi tentang tetap bertahan, walau pernah runtuh.
Aku mulai menulis cerita cerita tentang perempuan yang bangkit dari kehampaan. Cerita tentang seorang ibu yang pernah mati rasa, tapi perlahan menemukan hidupnya kembali. Mungkin suatu hari aku akan membagikan kisah ini kepada orang lain. Bukan untuk mencari pujian, tapi untuk memberitahu mereka: “Kamu tidak sendirian.”
Kini, aku berdiri di depan cermin, memandangi perempuan yang dulu hampir menyerah. Aku tersenyum padanya, dan berkata:
"Terima kasih karena tidak pergi. Karena bertahan. Karena memilih untuk hidup, walau sakit. Kamu layak bahagia. Dan hari ini, kamu sudah mulai merasakannya."
Aku bukan lagi bayangan.
Aku adalah aku.
Utuh dengan luka. Tapi juga utuh dengan harapan.
Hari-hari kini tak lagi gelap seperti dulu. Ada cahaya kecil yang terus tumbuh dalam diriku walau kadang redup, tapi tak pernah benar-benar padam.
Aku mulai mencatat hal-hal yang membuatku bersyukur. Awalnya terasa aneh bagaimana bisa aku bersyukur di tengah luka yang masih belum sembuh? Tapi perlahan, aku menyadari... bahwa justru di tengah luka itu, aku belajar banyak. Belajar menjadi manusia seutuhnya yang bisa lemah, tapi tidak menyerah.
Setiap pagi, aku tulis satu hal yang kusyukuri.
Hari ini: “Aku bisa bangun dengan tenang.”
Kemarin: “Anakku memelukku tanpa alasan.”
Besok? Entahlah. Tapi aku tahu, akan selalu ada hal kecil yang pantas disyukuri.
Aku juga mulai memaafkan masa lalu. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi berhenti menyiksa diri karena kesalahan yang sudah terjadi. Aku pernah terlalu keras pada diriku. Terlalu berharap pada orang lain. Tapi sekarang aku belajar… bahwa memaafkan adalah bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri.
Aku tidak lagi menyimpan amarah terhadap suamiku seperti dulu. Kami berdua belajar saling mendengarkan, meski kadang masih sulit. Tapi sekarang aku tahu, komunikasi itu bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang tetap memilih untuk tidak menyerah pada hubungan ini.
Aku pun memaafkan diriku yang dulu terlalu diam, terlalu takut, terlalu sering mengabaikan suara hatinya sendiri. Sekarang aku tahu, perasaan itu tidak salah. Yang salah adalah ketika aku berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, padahal hatiku nyaris mati.
Kini aku mulai membuka pintu untuk hal-hal baru. Aku mulai membaca buku yang dulu kusimpan di rak begitu lama. Aku belajar merajut, sesuatu yang selama ini ingin kupelajari tapi tak pernah sempat. Aku juga mulai berbicara dengan tetangga, membuka diri untuk dunia luar yang selama ini kuabaikan.
Hidup ini tidak akan selalu mudah. Tapi sekarang aku tahu, aku tidak akan lagi menjalani hari-hari seperti mayat hidup. Aku ingin hidup dengan penuh makna, meski hanya untuk membuat satu anakku tertawa. Aku ingin hidup dengan sadar, meski hanya untuk menikmati secangkir kopi di pagi hari.
Dan yang paling penting… aku tidak lagi menunggu orang lain untuk membuatku utuh. Aku utuh, karena aku menerima semua luka dan prosesku. Karena aku memilih untuk tetap berjalan, meski pelan, meski sendiri, meski sambil menangis.
Hari ini aku menulis sesuatu di catatanku:
"Aku bukan lagi bayangan dari seseorang yang pernah hidup.
Aku adalah perempuan yang sedang menyembuhkan diri bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk menjadi versi terbaik dari diriku yang baru."
Dan untuk pertama kalinya… aku percaya, bahwa aku akan baik-baik saja.
Ada hal yang tak pernah kubayangkan dulu: bahwa luka yang dulu membuatku nyaris hancur, kini justru jadi jalan yang mempertemukanku dengan banyak jiwa lain yang juga terluka.
Satu malam, aku menulis sebuah cerita pendek tentang perasaanku selama ini dan mengunggahnya di media sosial. Tak ada foto wajah, tak ada nama lengkap. Hanya sebuah kisah jujur dari seorang perempuan yang pernah mati rasa, lalu memilih untuk hidup kembali.
Tak kusangka, banyak pesan masuk. Perempuan-perempuan asing mengirimiku cerita mereka. Mereka bilang, “Aku juga merasakannya.” “Tulisannya seperti suara hatiku sendiri.” “Aku merasa tidak sendirian sekarang.”
Dan di situlah aku tersadar… mungkin selama ini, kita terlalu sering berpikir bahwa kita sendirian dalam luka. Padahal, ada banyak hati lain yang juga diam-diam menangis di balik senyum. Ada banyak orang yang hanya butuh satu kalimat sederhana: “Aku mengerti.”
Sejak saat itu, aku mulai menulis lebih sering. Bukan karena aku hebat. Tapi karena aku tahu: aku pernah nyaris hilang, dan aku tak ingin ada orang lain yang merasa sepi seperti itu tanpa tahu harus bicara ke siapa.
Aku juga mulai mengajak teman-temanku untuk saling bercerita. Bukan gosip. Tapi cerita hati. Tentang rasa lelah jadi istri. Tentang luka masa kecil. Tentang tekanan yang tak kelihatan. Tentang bagaimana rasanya ingin menyerah tapi tetap berdiri demi anak-anak.
Di momen itu, aku belajar satu hal: kekuatan perempuan bukan di seberapa banyak ia bisa tahan diam. Tapi seberapa besar ia bisa mencintai dirinya sendiri dan tetap memilih untuk hidup… walau seluruh dunia bilang, “Kamu harus kuat.”
Dan kini, aku tidak lagi memakai topeng.
Kalau aku bahagia, aku akan tertawa sepuasnya.
Kalau aku sedih, aku akan menangis tanpa rasa malu.
Karena aku tahu, menjadi manusia utuh adalah tentang berani merasa.
Anak-anakku kini tumbuh di rumah yang lebih hangat. Aku tak lagi jadi ibu yang kosong. Aku menjadi tempat aman bagi mereka karena aku juga belajar jadi tempat aman bagi diriku sendiri. Dan itu jauh lebih penting dari sekadar menyajikan makanan tiga kali sehari.
Suamiku pun berubah. Kami saling belajar, saling meminta maaf, dan saling mendengarkan. Kadang masih bertengkar. Tapi sekarang kami tahu, cinta bukan tentang selalu sejalan, tapi tentang tidak saling meninggalkan, bahkan saat tak mengerti.
Sekarang aku tahu: rumah bukan hanya soal dinding dan atap. Tapi tentang hati yang pulih, jiwa yang jujur, dan tangan-tangan yang saling menggenggam meski pernah nyaris lepas.
(Dari sudut pandang suami)
Aku lupa kapan terakhir kali benar-benar memandang wajahnya. Bukan hanya sekilas saat dia menyuguhkan kopi, bukan saat dia menyuapi anak-anak tapi benar-benar memandang, melihat jauh ke dalam matanya.
Ternyata... matanya lama sekali kosong.
Kupikir semua baik-baik saja. Dia tetap melakukan segalanya: mencuci, memasak, mengurus anak-anak, bahkan menyambutku pulang dengan senyum meski mungkin dibuat-buat. Dan aku aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, pikiranku, rasa lelahku sendiri, sampai lupa bertanya: Apa kabarmu, Sayang?
Aku tidak tahu kapan tepatnya dia mulai berubah. Tapi aku sadar saat dia mulai lebih sering diam. Bukan diam karena marah, tapi diam seperti tak punya suara. Seperti tak tahu lagi harus bicara apa.
Aku juga pernah merasa aneh saat dia duduk lama di kamar, memeluk lutut, memandangi langit-langit seolah sedang bicara pada luka. Tapi bodohnya, aku tak bertanya. Aku malah berpikir: “Dia cuma capek.” Sama seperti aku.
Tapi kenyataannya, dia lebih dari sekadar capek. Dia hancur… dan aku tidak ada untuk menahannya
"Aku tidak bahagia."
Kalimat itu terdengar pelan… tapi mengguncang seluruh duniaku.
Aku tercekat. Ingin menjawab, tapi tak tahu harus berkata apa. Ingin memeluknya, tapi tubuhku kaku. Jujur, aku malu. Bukan malu karena dia bicara seperti itu, tapi malu karena aku baru sadar aku telah menutup mata terlalu lama.
Beberapa hari setelah itu, aku mulai mengamati lebih dalam.
Bagaimana ia kini duduk lebih tenang. Bagaimana ia menulis di buku kecil yang dulu tak pernah kulihat. Bagaimana ia mulai tertawa pelan saat melihat anak-anak, bukan tawa yang keras, tapi tawa yang terasa hidup.
Aku sadar… ini bukan karena aku. Dia tidak sedang menungguku untuk berubah. Dia menyembuhkan dirinya sendiri. Dia bangkit dari dalam.
Dan di sanalah aku merasa paling berdosa. Karena selama bertahun-tahun, aku ada di dekatnya tapi tidak benar-benar hadir untuknya. Aku biarkan dia memendam segalanya sendirian. Aku hanya datang ketika butuh ditemani, bukan ketika dia butuh dipahami.
Tapi aku tidak ingin semuanya berakhir begitu saja.
Maka aku mulai belajar.
Belajar mendengarkan.
Belajar menahan lidahku dari membantah.
Belajar berkata, "Terima kasih," dan "Maaf."Kadang aku merasa kaku. Tak tahu cara menunjukkan perasaan. Tapi aku mencoba. Misalnya, aku mulai membantu di dapur. Dulu aku pikir itu urusan dia. Sekarang aku tahu: itu bukan tentang pekerjaan rumah, tapi tentang kebersamaan.
Aku mulai mengajak bicara, walau hanya soal hal-hal kecil. Menanyakan perasaannya hari itu. Bukan basa-basi, tapi sungguh ingin tahu. Dan saat dia menjawab, aku mendengarkan. Tidak memotong. Tidak menggurui. Hanya mendengarkan.
Aku juga mulai mengingat masa lalu kami masa saat kami masih tertawa tanpa beban. Aku ingin membangun kembali itu. Tapi aku sadar, aku tidak bisa memaksa dia kembali seperti dulu. Yang bisa kulakukan adalah berjalan bersamanya sekarang, menjadi pria baru di samping perempuan yang sedang menyembuhkan luka lamanya.
Aku tahu, aku mungkin terlambat menyadari semua ini. Tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.
Karena aku lihat… matanya kini mulai berbinar lagi.
Karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia benar-benar hidup.
Dan aku... ingin belajar hidup bersamanya, dari awal.
(Dari sudut pandang anak)
Aku nggak tahu kenapa, tapi dulu rumah terasa dingin. Bukan dingin kayak AC... tapi dingin kayak mama nggak ada, walaupun mama ada di rumah.
Mama selalu ada. Masak, nyiapin baju sekolah, ngingetin PR, nyuapin adik. Tapi rasanya kayak... mama nggak benar-benar di situ. Matanya kosong. Senyumnya tipis. Kadang mama lihatku, tapi kayak menembus tubuhku. Aku jadi takut nyapa terlalu banyak. Takut mama capek. Takut mama makin sedih.
Pernah aku nanya ke mama, "Mama kenapa diem terus?"
Tapi mama cuma senyum dan bilang, "Nggak apa-apa, sayang."
Padahal aku tahu, mama pasti ada apa-apa.
Lama-lama aku belajar diem juga. Aku jadi ngerti kalau tawa bisa pura-pura. Aku ngerti kalau orang dewasa juga bisa ngerasa sendiri, meski lagi duduk di ruang tengah bareng keluarga.
Tapi sekarang… semuanya beda.
Mama mulai berubah. Awalnya aku bingung. Mama jadi suka nulis, suka duduk sambil lihat jendela, suka nyanyi kecil di dapur. Terus mama peluk aku lebih sering. Peluknya beda… kayak hangatnya beneran dari hati.
Mama juga sekarang sering tanya aku, “Gimana harimu?” Dan waktu aku jawab panjang, mama dengerin. Nggak sambil nyapu, nggak sambil ngelamun. Tapi benar-benar dengerin.
Aku senang banget. Karena mama mulai balik.
Aku pernah denger mama nangis di kamar, dulu. Sekarang aku kadang masih denger mama nangis juga. Tapi tangisannya beda. Kayak lega. Kayak mama ngelepas sesuatu yang berat dari hati.
Mama sekarang juga suka cerita ke aku. Tentang dulu, tentang rasanya lelah, tentang pentingnya sayang sama diri sendiri. Aku jadi ngerti… kalau orang dewasa juga bisa patah. Tapi yang penting, mereka mau bangkit.
Aku bangga sama mama.Mama itu kuat. Tapi bukan karena nggak pernah jatuh.
Mama kuat karena waktu jatuh, mama berani bangun lagi pelan-pelan.
Dan sekarang, setiap pagi, aku senyum waktu lihat mama di dapur.
Bukan cuma karena ada roti isi coklat.
Tapi karena mama sekarang bersinar lagi.
Dan aku tahu… rumah ini jadi hangat lagi, karena mama memilih untuk hidup.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar