Judul: "Di Balik Senyuman Seorang Ibu Rumah Tangga"
Namaku Lila. Sudah hampir sepuluh tahun aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Dari pagi buta hingga malam larut, hidupku berputar di antara dapur, cucian, lantai yang harus dipel, dan anak-anak yang selalu butuh perhatian. Sekilas, semuanya tampak baik-baik saja. Aku tersenyum saat menyambut suami pulang kerja. Aku tertawa kecil melihat tingkah anak-anakku. Tapi jauh di dalam hati, aku mulai merasa… jenuh.
Bukan karena aku tidak mencintai keluargaku. Justru karena aku terlalu mencintai mereka, aku lupa mencintai diriku sendiri.
Setiap hari nyaris sama. Bangun pagi, masak, beres-beres, antar anak, belanja, masak lagi, cuci piring, dan seterusnya. Tidak ada cuti. Tidak ada penghargaan. Tidak ada ruang untuk sekadar menghela napas. Aku mulai bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku hanya sebatas ini? Hanya sebagai pelayan rumah yang tak pernah selesai bekerja?"
Pernah suatu malam, saat semua sudah tidur, aku duduk sendiri di ruang tamu. Aku menangis dalam diam. Bukan karena sedih, tapi karena lelah yang menumpuk tak tahu harus ke mana. Aku ingin sekali bicara pada seseorang, tapi aku takut dianggap mengeluh. Aku takut dikira tak bersyukur. Padahal, aku hanya ingin didengar.
Ada kalanya aku merasa kehilangan jati diri. Dulu aku punya impian, hobi, dan semangat belajar. Tapi sekarang, semuanya seperti terkubur oleh tumpukan cucian dan suara anak-anak yang menangis berebut mainan. Aku mulai merasa seperti bayangan ada, tapi tak terlihat.
Tapi aku tahu, aku tidak sendiri. Banyak ibu rumah tangga di luar sana yang mungkin merasakan hal yang sama. Kejenuhan ini bukan karena tidak cinta, melainkan karena lupa mencintai diri sendiri.
Sekarang, aku mulai belajar kembali memberi waktu untuk diriku sendiri. Membaca buku walau hanya 10 menit, menulis jurnal, atau sekadar duduk sambil minum kopi tanpa tergesa. Aku ingin menemukan kembali siapa Lila, bukan hanya sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga sebagai seorang manusia yang punya mimpi dan rasa.
Karena aku sadar, kebahagiaan seorang ibu rumah tangga juga penting. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarga yang ia cintai.
Malam itu jadi titik awal perubahan kecil dalam hidupku. Setelah lama tenggelam dalam rutinitas yang melelahkan, aku mulai berani bertanya: "Apa yang aku inginkan? Apa yang bisa membuatku merasa hidup kembali?"
Aku mencoba berbicara dengan suamiku. Awalnya aku ragu, takut dianggap berlebihan. Tapi malam itu, aku kumpulkan keberanian.
"Mas, aku capek..." kataku pelan, suaraku nyaris tak terdengar.
Dia menoleh, tampak terkejut. "Capek kenapa, Lil? Kamu kelihatan baik-baik aja."
"Justru itu. Aku selalu kelihatan baik-baik aja... padahal enggak. Aku jenuh. Aku lelah. Aku ngerasa kayak hidupku cuma buat ngurus rumah. Aku nggak punya waktu buat diriku sendiri."
Dia terdiam. Mungkin selama ini dia benar-benar tidak menyadari beban yang aku pikul sendirian. Setelah beberapa saat, dia meraih tanganku.
"Maaf, Lil... Aku kira kamu kuat-kuat aja. Kamu nggak pernah bilang. Aku cuma fokus kerja, tapi lupa kalau kamu juga butuh ruang."
Malam itu kami bicara panjang. Aku menangis, tapi rasanya lega. Aku merasa didengar. Dan yang paling penting, aku merasa dihargai.
Sejak saat itu, ada sedikit perubahan. Suamiku mulai membantu urusan rumah walau tak selalu sempurna. Aku mulai memberanikan diri ikut kelas online kelas menulis, sesuatu yang dulu pernah jadi impianku. Aku menulis setiap kali anak-anak tidur. Sedikit-sedikit, aku merasa punya napas baru.
Aku juga mulai keluar rumah sesekali, sekadar ngopi bareng teman atau ikut pengajian ibu-ibu. Rasanya seperti menemukan kembali potongan diriku yang dulu hilang.
Kejenuhan itu masih sesekali datang, tapi sekarang aku tahu cara menghadapinya. Aku tahu, tidak apa-apa untuk merasa lelah. Tidak apa-apa untuk mengakui bahwa jadi ibu rumah tangga itu berat. Dan tidak apa-apa untuk mencintai diri sendiri, meski hanya lewat hal kecil.
Karena ibu yang bahagia akan menciptakan rumah yang hangat. Dan aku ingin menjadi ibu yang bukan hanya kuat, tapi juga utuh sebagai perempuan.
Hari-hari berikutnya terasa sedikit berbeda. Meski pekerjaan rumah masih menumpuk, aku merasa punya semangat baru. Aku mulai menulis rutin di buku catatan kecil curahan hati, cerita fiksi, bahkan puisi tentang keseharian sebagai ibu rumah tangga.
Ternyata menulis seperti terapi bagiku. Setiap kata yang kutulis seakan menjadi tempat bernaung bagi jiwaku yang sempat lelah. Suatu hari, dengan rasa percaya diri yang sedikit gemetar, aku memberanikan diri membagikan salah satu tulisanku ke media sosial. Bukan untuk pamer, tapi untuk jujur tentang diriku.
Tak kusangka, banyak yang merespons. Teman-teman, bahkan ibu-ibu lain yang tidak kukenal, berkomentar, “Aku juga merasakannya.” “Tulisanmu menyentuh hati.” “Terima kasih sudah jujur.”
Di situlah aku sadar aku tidak sendirian. Kejenuhan yang aku alami ternyata juga dirasakan oleh banyak ibu lainnya. Ada semacam kekuatan dalam saling berbagi, saling menguatkan.
Lalu aku berpikir, kenapa tidak kulanjutkan? Maka aku mulai menulis lebih sering. Aku buat blog sederhana. Aku berbagi cerita tentang kehidupan rumah tangga, perjuangan menjadi istri dan ibu, tentang luka batin yang diam-diam dipendam, dan tentang usaha kecil untuk mencintai diri sendiri.
Tulisanku mulai menjangkau banyak orang. Beberapa kali, aku diundang menjadi pembicara dalam diskusi daring antar komunitas ibu. Aku bukan siapa-siapa, hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi dari kejenuhan yang pernah menenggelamkanku, aku justru menemukan panggilan hati yang baru.
Kini, saat melihat cermin, aku melihat Lila yang berbeda. Masih ibu rumah tangga, masih mencuci dan memasak seperti biasa. Tapi dengan semangat yang baru. Aku tak lagi merasa seperti bayangan. Aku hadir untuk keluargaku, untuk orang lain, dan untuk diriku sendiri.
Aku masih lelah, tentu. Tapi aku tidak lagi merasa kosong. Karena sekarang aku tahu, aku punya arti. Dan kejenuhan yang dulu menyesakkan… justru membawaku pada jalan yang tak pernah kuduga.
Waktu terus berjalan. Anak-anak mulai tumbuh, suamiku makin memahami pentingnya berbagi peran, dan aku... perlahan menemukan diriku yang baru. Aku bukan hanya ibu rumah tangga, tapi juga penulis. Meski belum dikenal luas, aku tahu tulisanku berarti. Setiap cerita yang kubagikan adalah suara dari banyak perempuan yang diam-diam berjuang dalam senyap.
Suatu hari, sebuah penerbit indie menghubungiku. Mereka tertarik dengan tulisanku di blog dan ingin menerbitkannya menjadi buku kumpulan kisah nyata ibu rumah tangga. Aku hampir tak percaya. Tanganku gemetar saat membaca email itu. Dulu aku menulis hanya untuk bertahan, untuk membuang rasa jenuh yang memeluk erat. Kini tulisanku akan dibaca oleh lebih banyak orang. Rasa syukur dan haru menyatu dalam dada.
Proses menyiapkan buku itu tidak mudah. Aku harus mengulang-ulang tulisan, menyempurnakan cerita, mengatur waktu di tengah kesibukan rumah. Tapi setiap kalimat yang kutulis, terasa seperti luka-luka kecil dalam hati yang perlahan sembuh.
Buku itu akhirnya terbit. Judulnya: "Pelukan untuk Ibu yang Lelah". Isinya adalah kumpulan cerita, curahan hati, dan kekuatan yang lahir dari kejenuhan, air mata, dan cinta seorang ibu rumah tangga. Saat buku itu tiba di tanganku, aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena merasa akhirnya dihargai... oleh diriku sendiri.
Saat aku membagikan buku itu ke teman-teman, tanggapannya luar biasa. Banyak ibu-ibu yang bilang, “Aku merasa ini cerita tentang aku.” Dan dari sana, aku pun membentuk komunitas kecil tempat para ibu rumah tangga bisa saling curhat, menulis, belajar, bahkan saling menguatkan.
Kini, kejenuhan itu bukan lagi musuh. Ia telah menjadi guru. Ia mengajarkanku untuk jujur pada diri sendiri, untuk tak takut meminta bantuan, dan untuk tetap bermimpi, sekecil apa pun itu.
Dulu aku kira hidupku berakhir saat memilih menjadi ibu rumah tangga. Ternyata justru dari situlah hidupku benar-benar dimulai.
Kepada semua ibu yang diam-diam merasa lelah, jenuh, atau tak dihargai: kamu tidak sendirian. Suaramu penting. Perasaanmu sah. Dan kamu layak bahagia.
Kadang, dari kejenuhan yang paling dalam… lahir kekuatan yang paling tak terduga.
Beberapa bulan setelah buku "Pelukan untuk Ibu yang Lelah" terbit, hidupku berubah cukup drastis. Namaku mulai dikenal di kalangan komunitas ibu rumah tangga. Aku beberapa kali diundang menjadi pembicara dalam seminar daring, bahkan sesekali mengisi pelatihan menulis untuk para perempuan yang ingin berkisah. Rasanya seperti mimpi. Seorang Lila, yang dulu hampir kehilangan jati dirinya, kini justru jadi penguat untuk banyak orang.
Namun, perubahan itu juga membawa tantangan baru.
Waktu untuk keluarga mulai terbagi. Suamiku, yang sebelumnya mendukung, mulai merasa ada jarak. Ia tak pernah melarang, tapi aku bisa merasakan... ia kesepian. Anak-anakku juga beberapa kali bertanya, “Mama sekarang sibuk terus ya?”
Saat malam tiba dan rumah kembali tenang, aku sering merenung sendiri. Di satu sisi, aku sedang hidup dalam impianku menulis, berkarya, dikenal, dihargai. Tapi di sisi lain, aku takut kehilangan rumah yang dulu kupeluk sepenuh hati.
Aku sadar, hidup adalah tentang keseimbangan. Maka aku memutuskan untuk melambat. Bukan berhenti, tapi menata ulang langkahku.
Aku membuat jadwal baru. Pagi tetap untuk keluarga, siang saat anak-anak sekolah kupakai untuk menulis. Malam kembali menjadi ruang hangat untuk kami bercengkerama. Di akhir pekan, semua kegiatan luar rumah kututup, agar aku bisa sepenuhnya hadir sebagai istri, sebagai ibu.
Lucunya, sejak aku lebih jujur dan terbuka, justru keluarga makin mendukung. Suamiku mulai membacakan bukuku kepada teman-temannya. Anak-anakku bahkan ikut-ikutan menulis cerita pendek versi mereka. Rumah kami perlahan berubah dari tempat yang dulu penuh kejenuhan, menjadi rumah yang penuh cerita, tawa, dan kehidupan baru.
Dari kejenuhan, aku belajar bahwa menjadi ibu rumah tangga bukan akhir dari mimpi. Justru bisa menjadi awal asal kita berani jujur, berani bangkit, dan memberi ruang pada diri sendiri untuk tumbuh.
Kini, aku tidak lagi malu menyebut diriku ibu rumah tangga. Justru dengan bangga aku mengatakan:
“Aku ibu rumah tangga… dan aku juga penulis, pendengar, pemimpi, dan perempuan yang memilih untuk terus hidup dengan penuh makna.”
Setelah kehidupan mulai tertata, dan keluargaku semakin terbiasa dengan peran baruku, aku mulai merasakan satu hal yang menggelitik: keinginan untuk berbagi lebih luas lagi. Bukan hanya lewat tulisan, tapi lewat ruang nyata, tempat para ibu bisa saling menguatkan dan belajar menyalakan kembali mimpi-mimpi mereka yang sempat padam.
Dari ruang tamu kecil di rumah, aku memulai sesuatu yang baru: Kelas Menulis untuk Ibu Rumah Tangga. Tak perlu tempat mewah, cukup tikar, teh hangat, dan keberanian untuk jujur. Awalnya hanya dua orang yang datang, lalu bertambah menjadi lima, dan kini setiap minggu lebih dari belasan ibu berkumpul. Mereka datang dengan kisah masing-masing ada yang diam-diam menyimpan luka pernikahan, ada yang kehilangan semangat hidup, ada yang ingin menulis tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Aku mendengarkan mereka. Menuntun mereka menulis. Dan lebih dari itu, aku menguatkan mereka bahwa kejenuhan bukan aib. Bahwa tidak apa-apa merasa lelah. Yang terpenting, jangan berhenti mencintai diri sendiri.
Salah satu ibu berkata padaku setelah kelas, dengan mata berkaca-kaca, “Mbak Lila, saya pikir hidup saya sudah habis di dapur. Tapi sekarang saya tahu, saya masih bisa punya suara. Terima kasih.”
Kalimat itu menancap dalam. Karena aku pernah merasa yang sama. Dan kini, jika aku bisa menyalakan satu lilin di hati orang lain, maka semua lelahku tak sia-sia.
Namun bukan berarti segalanya selalu indah.
Pernah suatu hari, salah satu tetangga bergumam sinis, “Sekarang udah nulis-nulis, lupa dapur ya?” Atau, “Ah, paling cuma ikut-ikutan. Namanya juga ibu rumah tangga, bukan penulis beneran.”
Dulu, mungkin aku akan sakit hati. Tapi sekarang aku tahu, bukan validasi orang yang kubutuhkan. Aku tidak butuh pembuktian. Aku hanya ingin terus hidup jujur, dan menginspirasi.
Karena aku percaya, di balik banyak ibu yang tampak ‘biasa saja’, tersembunyi kekuatan luar biasa.
Buku keduaku kini sedang dalam proses. Isinya adalah kisah-kisah para ibu yang kutemui di kelas menulis. Tentang bagaimana mereka bertahan, bagaimana mereka bangkit, dan bagaimana mereka belajar mencintai diri sendiri setelah lama menghilang dalam rutinitas.
Aku ingin dunia tahu: ibu rumah tangga bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan jiwa. Dan dari kejenuhan yang paling sepi, bisa lahir cahaya yang menerangi banyak hati.
Suatu hari, sebuah email masuk ke kotak masukku. Pengirimnya adalah sebuah komunitas perempuan tingkat nasional. Mereka membaca tulisanku dan mendengar tentang kelas menulis ibu rumah tangga yang kujalankan. Mereka ingin mengundangku menjadi pembicara di acara seminar besar di Jakarta.
Tanganku gemetar saat membaca undangan itu. Rasanya tak nyata. Aku, Lila yang dulu merasa hidupnya hanya berputar di dapur dan setrikaan kini diminta berbicara di hadapan ratusan orang.
Aku sempat ragu. Aku takut. Bukan karena tidak bisa bicara, tapi karena rasa kecil yang pernah tinggal lama di hatiku. Tapi suamiku menatapku dan berkata, “Kamu harus pergi. Kamu tidak hanya mewakili dirimu, tapi suara banyak ibu yang belum berani bicara.”
Aku pun berangkat, meninggalkan anak-anak untuk beberapa hari. Perjalanan itu menjadi pengalaman yang takkan pernah kulupakan. Di atas panggung, aku berbagi kisahku: tentang kejenuhan, tentang rasa kehilangan diri sendiri, dan bagaimana aku bangkit lewat menulis.
Saat aku selesai berbicara, banyak perempuan datang menghampiri. Beberapa menangis. Ada yang memelukku dan berkata, “Mbak Lila, kamu menceritakan isi hati saya.” Saat itulah aku benar-benar sadar: kekuatan kata-kata bisa menyembuhkan bukan hanya diriku, tapi juga orang lain.
Setelah acara itu, namaku mulai dikenal lebih luas. Tapi aku tetap kembali ke rumah, ke kehidupanku sebagai ibu rumah tangga. Karena dari situlah segalanya bermula. Aku tetap mencuci, memasak, mengantar anak sekolah. Tapi sekarang hatiku tak lagi kosong.
Aku juga mulai sering diundang ke berbagai daerah bukan untuk pamer, tapi untuk mendengar dan berbagi. Setiap tempat yang kudatangi mempertemukanku dengan ibu-ibu hebat yang selama ini tersembunyi dalam keheningan rumah.
Sampai suatu hari, saat aku duduk di ruang kelas kecil di rumahku yang hangat, aku bertanya pada para ibu di hadapanku:
“Kalau dulu kalian pernah merasa jenuh, kenapa sekarang tetap bertahan?”
Salah satu dari mereka tersenyum, lalu berkata,
“Karena sekarang kami tahu… kami berharga. Dan semua dimulai karena Mbak Lila berani jujur.”
Air mataku menetes. Bukan karena sedih, tapi karena penuh rasa syukur. Aku memeluk mereka satu per satu, seperti memeluk diriku sendiri di masa lalu yang pernah hancur, pernah hilang arah, tapi tak pernah benar-benar menyerah.
Ketika Lila Memilih Diam
Beberapa tahun setelah buku keduanya terbit, kehidupan Lila mulai berubah. Bukan karena ia kehilangan semangat, tetapi karena dunia di sekitarnya mulai menuntut lebih. Undangan demi undangan datang. Acara, seminar, liputan media, kolaborasi, bahkan kontrak menulis dengan penerbit besar. Sekilas, ini adalah puncak pencapaian yang selama ini ia impikan.
Namun, di balik itu semua, Lila mulai merasa... kosong lagi.
Suatu malam, ia duduk sendirian di ruang kerja kecilnya, menatap layar kosong di laptop. Tangannya tak lagi ringan menari di atas keyboard. Kata-kata yang dulu mengalir, kini membeku. Bukan karena kehilangan ide, tapi karena hatinya seperti menjauh dari yang dulu ia perjuangkan.
Suaminya, yang dulu mendukung penuh, kini mulai lelah. Anak-anaknya, yang dulu bangga, kini sering berkata,
"Mama sibuk terus."
Dan Lila menyadari: dalam usahanya membantu banyak ibu menemukan suaranya, ia perlahan kehilangan suaranya sendiri.
Lila memutuskan berhenti.
Ia menutup semua proyek. Ia menolak undangan. Ia tak lagi menulis di blog. Banyak yang bertanya, banyak yang kecewa. Tapi ia memilih diam. Ia kembali ke rumah sepenuhnya. Menjadi ibu, istri, dan perempuan biasa.
Awalnya terasa sepi. Sangat sepi. Seperti kehilangan bagian dari jiwanya sendiri. Tapi kemudian, di dalam kesunyian itu, Lila mulai mendengar hal-hal kecil yang dulu terabaikan.
Tawa anaknya di sore hari. Cerita suaminya sepulang kerja. Desiran angin dari jendela dapur. Aroma masakan yang perlahan kembali ia nikmati. Dan yang paling penting: suara hatinya sendiri, yang selama ini nyaris tak ia dengarkan.
Lila mulai menulis lagi bukan untuk dibaca orang lain. Tapi hanya untuk dirinya sendiri. Di buku harian. Di secarik kertas. Ia menulis bukan untuk mengejar karya, tapi untuk menjaga kewarasan. Ia tidak butuh panggung. Ia hanya butuh kedamaian.
Suatu hari, seorang mantan peserta kelas menulis datang ke rumahnya, membawa bingkisan kecil. Ia berkata, “Mbak Lila memang sudah tidak menulis untuk publik lagi. Tapi apa yang Mbak lakukan dulu… tetap hidup dalam tulisan kami. Dalam keberanian kami.”
Lila tersenyum. Air matanya jatuh, tapi hatinya hangat.
Ternyata berhenti menulis di luar… bukan berarti berhenti memberi arti.
Lila kini hidup lebih tenang. Ia tak lagi terkenal, tak lagi viral, tak lagi tampil di depan kamera. Tapi ia hidup… sepenuhnya. Ia menanam bunga di halaman rumah. Menyiram pagi-pagi sambil berbicara dengan dirinya sendiri. Menyusun resep baru untuk keluarga. Dan setiap malam, sebelum tidur, ia menulis satu kalimat dalam jurnalnya:
"Hari ini, aku memilih untuk tetap hadir, meski hanya dalam diam."
Karena ia tahu, hidup tidak selalu harus bersuara. Kadang, diam adalah bentuk cinta paling dalam untuk keluarga, untuk diri sendiri, dan untuk kehidupan yang sederhana, namun utuh.
Lila kini berusia 63 tahun. Rambutnya mulai memutih, langkahnya melambat, tapi matanya tetap hangat seperti dulu. Rumahnya tetap sederhana, penuh dengan rak buku, pot-pot bunga yang ia rawat sendiri, dan tumpukan jurnal harian yang sudah menguning dimakan waktu.
Anak-anaknya telah dewasa, berkeluarga, dan sesekali mengunjunginya bersama cucu-cucu yang ramai dan lucu. Suaminya kini lebih banyak duduk berdua di teras, membaca koran sambil sesekali bercanda mengenang masa muda.
Pada suatu sore, Lila duduk sendirian di kamar kecil yang dulu pernah menjadi ruang menulisnya. Ia membuka salah satu buku harian lamanya. Di dalamnya tertulis kisah-kisah dari masa lalu tentang kejenuhan yang dulu menyesakkan, perjuangan saat membangun kelas menulis, air mata diam-diam di malam hari, hingga saat ia memilih untuk berhenti dari semua sorotan dunia.
Tangannya gemetar saat menyentuh lembaran-lembaran itu, tapi hatinya tenang.
“Lila yang dulu begitu takut kehilangan dirinya,” gumamnya pelan. “Ternyata, justru karena itu… aku benar-benar menemukan siapa aku.”
LiIa tersenyum. Kini, ia tak butuh tepuk tangan. Tak butuh panggung. Tak butuh gelar “penulis” di belakang namanya. Ia hanya ingin menjadi Lila perempuan yang pernah jatuh, bangkit, memberi, dan memilih hidup yang sederhana, tapi penuh makna.
Sore itu, ia duduk di teras bersama cucunya yang masih kecil.
“Nenek dulu suka nulis ya?” tanya si kecil.
Lila tersenyum dan mengangguk. “Iya, sayang. Nenek dulu suka nulis saat hati nenek penuh.”
“Kenapa berhenti, Nek?”
Lila terdiam sebentar, lalu menjawab lembut,
“Karena kadang, setelah menulis banyak hal… yang paling dibutuhkan adalah keheningan.”
Anak kecil itu tampak bingung, tapi tak bertanya lagi. Ia bersandar di pangkuan neneknya, tertawa saat ditiup angin. Dan Lila merasa damai.
Di usia senjanya, Lila tidak menyesal pernah berhenti. Justru ia bersyukur pernah lelah, pernah jenuh, pernah hancur. Karena dari semua rasa itu, ia belajar tentang cinta, makna, dan keikhlasan.
Kini, dunia mungkin telah lupa pada nama Lila. Tapi bagi orang-orang yang pernah disentuh tulisannya, pernah duduk bersamanya di kelas kecil di rumah itu… nama Lila akan tetap hidup.
Bukan karena ketenarannya.
Tapi karena ketulusan dan keberaniannya untuk menjadi perempuan… yang setia pada hatinya sendiri.
Lila di Hari Tua
Rumah itu masih berdiri tenang di sudut desa kecil yang damai. Dindingnya mulai kusam, catnya sedikit mengelupas, tapi halaman rumah tetap rapi dengan bunga kertas yang mekar di setiap sudut. Di sanalah Lila tinggal, kini seorang nenek berusia tujuh puluhan, dengan tubuh yang ringkih tapi senyum yang tetap utuh.
Setiap pagi, Lila duduk di bangku kayu di beranda rumah, menyeduh teh hangat, dan memandangi matahari terbit di balik pohon mangga tua. Ia tak lagi menulis, tak lagi bicara panjang lebar seperti dulu. Tapi pikirannya tetap jernih, hatinya tetap hangat.
Hidupnya kini sederhana. Ia ditemani burung-burung kecil yang bersarang di pohon depan rumah, suara angin yang berbisik di sela-sela dedaunan, dan buku-buku harian lamanya yang kadang dibacanya kembali bukan untuk mengingat masa lalu, tapi untuk bersyukur bahwa ia pernah melaluinya.
Setiap akhir pekan, Nadra, cucu kesayangannya, sering datang berkunjung. Mereka duduk berdampingan, membaca buku, atau hanya saling bercerita. Kadang Nadra membawa naskah baru yang sedang ia tulis, lalu meminta pendapat Lila.
“Nek,” tanya Nadra suatu hari, “apa Nenek pernah menyesal dulu berhenti menulis?”
Lila tersenyum, menatap cucunya yang kini tumbuh menjadi penulis muda berbakat.
“Nenek nggak pernah menyesal. Karena ternyata... kisah nenek tetap berlanjut, meski nenek diam. Kamu yang teruskan, Nadra.”
Sore harinya, anak-anak Lila datang. Rumah kembali ramai, penuh tawa cucu dan suara sandal berlarian di lantai. Lila duduk di kursi goyangnya, mengamati mereka, sesekali tersenyum, sesekali termenung.
Di dalam hatinya, ia berkata:
"Inilah akhir yang kupinta. Aku tidak perlu dunia tahu siapa aku. Cukup keluargaku tahu bahwa aku pernah hidup, pernah berjuang, pernah mencintai mereka dengan seluruh jiwaku."
Menjelang malam, saat semua sudah pulang dan rumah kembali sunyi, Lila menulis satu paragraf terakhir di buku hariannya:
“Tak ada lagi yang ingin kukejar. Aku sudah sampai. Kini aku hanya ingin menunggu dengan tenang… dalam pelukan waktu, dalam doa-doa anak dan cucuku, dalam kenangan yang semoga indah.”
Kehidupan yang Tidak Pernah Sia-Sia
Hari itu, rumah Lila dipenuhi cahaya matahari pagi yang lembut. Di halaman, bunga-bunga mekar, seolah tahu bahwa ini adalah hari istimewa. Lila duduk di kursi rotan kesayangannya, mengenakan baju lusuh kesukaannya, rambutnya ditata sederhana oleh cucunya, Nadra.
Usianya kini lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya tak sekuat dulu, langkahnya makin pelan, tapi wajahnya tetap memancarkan ketenangan seperti laut di pagi hari.
Hari itu, keluarga besar berkumpul. Anak-anak, cucu-cucu, bahkan beberapa teman lama dan para ibu yang dulu pernah belajar menulis dengannya. Mereka tak datang untuk acara besar. Mereka hanya datang… untuk mengenang dan merayakan Lila.
Bukan karena ia terkenal.
Bukan karena ia kaya.
Tapi karena ia pernah hadir sepenuh hati dalam hidup banyak orang.
Di dalam rumah, ada rak khusus berisi tulisan-tulisan Lila: buku terbitan, jurnal harian, puisi-puisi sederhana, surat-surat tak terkirim. Dan di antara itu semua, ada satu kalimat yang ditulis Lila di halaman belakang jurnal terakhirnya:
“Kalau aku harus memilih satu kata untuk menggambarkan hidupku, aku pilih: cukup. Karena aku sudah cukup mencinta, cukup memberi, dan cukup hidup sebagai diriku sendiri.”
Hari itu menjadi perayaan kehidupan Lila. Bukan pesta, bukan upacara, hanya kehangatan yang sederhana. Lila tak bicara banyak, tapi senyum dan matanya bercerita lebih dari ribuan kata.
Beberapa minggu setelah hari itu, Lila berpulang dalam tidurnya. Tenang, damai, seperti hela napas terakhir yang bersatu dengan langit pagi.
Namun kisahnya… tidak pernah benar-benar berakhir.
Ia hidup dalam tulisan-tulisannya. Dalam kelas menulis kecil yang kini diteruskan Nadra. Dalam hati para ibu yang pernah tersentuh kata-katanya. Dan terutama, dalam rumah yang pernah ia isi dengan cinta dan kesetiaan tak bersyarat.
Selamat jalan, Lila.
Kisahmu sederhana…
Tapi jejakmu abadi.
Karena engkau adalah bukti bahwa kehidupan yang paling bermakna adalah yang dijalani dengan hati bukan dengan sorak sorai dunia, tapi dengan pelukan hangat untuk diri sendiri dan orang-orang tercinta.
Hari tua Lila bukan tentang pencapaian yang gemilang atau sorotan dari luar. Tapi tentang kedamaian yang tumbuh dari dalam. Tentang rasa cukup. Tentang menerima bahwa hidup yang pernah ia jalani meski penuh luka, lelah, dan air mata adalah hidup yang utuh dan tidak pernah sia-sia.
Lila tidak lagi menulis untuk dunia.
Tapi dunia khususnya orang-orang yang pernah disentuh hatinya akan terus menulis tentang Lila. Di dalam ingatan. Di dalam cerita. Di dalam kasih sayang yang ia wariskan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar