Judul: "Lelah Tapi Belum Menyerah"
Namanya Rani. Seorang wanita sederhana dari kampung kecil di pinggiran kota. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah berjalan menembus dingin dan debu, menjajakan gorengan buatan tangannya ke pasar. Dengan kaki yang lelah dan wajah yang tak jarang menyimpan luka-luka kecil dari minyak panas, ia terus berjalan, karena hidup tak memberinya pilihan untuk berhenti.
Ia tinggal di sebuah rumah petak sempit yang temboknya sudah mengelupas, dengan atap bocor yang selalu membuatnya terjaga saat hujan datang. Suaminya bekerja serabutan, kadang ada upah, kadang tidak. Anak-anaknya masih kecil, butuh makan, butuh sekolah, butuh masa depan. Sementara ia… bahkan untuk membeli pembalut pun kadang harus memilih antara itu atau sebungkus nasi.
Rani sering duduk sendirian di malam hari, menatap langit-langit rumah, bertanya dalam hati:
"Apa aku akan selamanya seperti ini?"
Bukan dia tak berusaha. Sudah pernah ia coba jualan online, tapi sinyal di tempatnya sering hilang. Pernah juga ikut pelatihan menjahit dari desa, tapi mesin jahitnya rusak dan tak punya uang untuk memperbaiki. Pernah ia pinjam uang untuk buka warung kecil, tapi tak sampai sebulan, semua habis dipakai untuk biaya anaknya yang sakit.
Setiap kegagalan seperti menamparnya. Ia menangis diam-diam. Tapi esok harinya, ia tetap bangun. Tetap jualan. Tetap mencoba. Karena meski tubuhnya lelah, dan hatinya rapuh, ada impian yang belum padam: ia ingin sukses.
Ia ingin punya rumah yang layak. Ia ingin anak-anaknya sekolah tinggi. Ia ingin bisa bantu orangtuanya. Ia ingin… hidup yang lebih baik.
Bukan untuk bermewah-mewah. Ia hanya ingin lepas dari rasa takut akan besok. Takut tak bisa kasih makan anak. Takut ditagih utang. Takut jatuh sakit tapi tak punya biaya.
Rani tahu jalan menuju sukses itu terjal. Tapi ia percaya satu hal:
"Selama aku terus melangkah, meski tertatih, aku akan sampai juga."
Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan hari ini.
Untuk tetap menaruh harapan di dalam doa-doanya.
Untuk terus menabung dari receh demi receh hasil keringatnya.
Karena Rani tahu, sukses bukan tentang seberapa cepat sampai…
Tapi seberapa kuat bertahan saat hidup terasa sangat melelahkan.
Suatu hari, setelah bertahun-tahun hidup dalam pasang surut harapan, Rani duduk di teras rumahnya yang sempit, menatap langit sore yang mulai memerah. Tangannya menggenggam secangkir teh panas yang ia buat dari sisa gula terakhir di dapurnya. Tapi ada satu hal yang berbeda sore itu: ia tidak lagi menangisi keadaannya. Ia mulai berpikir, “Aku harus berubah. Bukan cuma berdoa, tapi juga berani ambil langkah yang lebih besar.”
Keesokan harinya, Rani memutuskan untuk mendatangi kantor kelurahan dan bertanya soal pelatihan keterampilan gratis. Ia diterima untuk ikut pelatihan membuat sabun cuci dan sabun mandi. Meski awalnya merasa minder karena tak tahu banyak, ia tetap datang setiap hari, belajar dengan tekun, dan tak malu bertanya.
Setelah pelatihan selesai, ia mulai mencoba membuat sabun sendiri di rumah. Modalnya kecil hasil dari menyisihkan uang jualan gorengan. Ia bungkus sabunnya dengan kertas bekas, lalu menulis merek buatan tangan dengan spidol. Ia jual ke tetangga, ke warung kecil, bahkan ke pasar.
Awalnya tidak banyak yang beli. Tapi Rani tidak menyerah. Ia promosi lewat WhatsApp, minta bantuan adiknya untuk unggah foto-foto produknya ke media sosial. Ia juga ikut bazar UMKM kecil di balai desa.
Lama kelamaan, pesanan datang satu-satu. Bahkan ada ibu-ibu pengajian yang mulai langganan sabunnya. “Wangi sabunnya enak, dan bikin tangan nggak kasar,” kata salah satu pelanggan. Itu pujian kecil, tapi bagi Rani, seperti bensin bagi semangatnya yang nyaris padam.
Dengan keuntungan yang semakin stabil, Rani membeli cetakan sabun dan plastik kemasan yang lebih layak. Ia belajar dari YouTube tentang branding sederhana. Ia beri nama produknya “Sabun Rani: Bersih dari Hati”.
Setahun berlalu. Usaha Rani belum besar, tapi cukup untuk bayar sekolah anaknya tanpa utang. Cukup untuk menabung perlahan. Cukup untuk perbaiki atap rumah. Dan yang paling penting: cukup untuk membuat Rani percaya bahwa dirinya bisa.
Rani kini tidak lagi hanya dikenal sebagai "ibu penjual gorengan." Ia dikenal sebagai wanita tangguh yang bangkit dari kemiskinan. Yang tidak menyerah walau hidup berkali-kali menjatuhkannya.
Ketika ditanya rahasianya, Rani hanya tersenyum dan berkata:
“Aku cuma ibu biasa yang pernah sangat lelah. Tapi aku tidak pernah berhenti melangkah.”
Hari demi hari Rani jalani dengan semangat baru. Meski tubuhnya masih lelah karena harus membagi waktu antara membuat sabun, mengurus rumah, dan menjaga anak-anak, tapi hatinya kini lebih ringan. Ia sudah tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangan, karena ia mulai menemukan dukungan dari pelanggan, dari tetangga, dan dari orang-orang yang mulai percaya pada usahanya.
Suatu hari, seorang ibu guru dari sekolah anaknya menghampiri dan berkata,
"Bu Rani, sabun buatan Ibu enak dipakai. Boleh nggak kalau saya pesan untuk acara sekolah? Mungkin bisa jadi suvenir."
Rani hampir tak percaya. Ia yang dulu hanya bisa bermimpi, kini mulai dipercaya untuk menerima pesanan dalam jumlah besar. Dengan tangan gemetar karena haru, ia mengiyakan dan mulai bekerja lebih keras. Ia libatkan ibu-ibu tetangga yang sedang tidak punya pekerjaan, mengajarkan mereka cara membuat sabun, dan membayar mereka dari keuntungan yang ada. Ia tak ingin sukses sendirian.
Lambat laun, sabun “Bersih dari Hati” semakin dikenal. Rani mulai diajak bicara di pertemuan UMKM desa, diminta berbagi kisah. Ia gugup pertama kali berdiri di depan orang banyak, tapi ketika ia bicara dari hati tentang perjuangan dan air mata yang pernah ia alami, semua orang terdiam… dan kemudian berdiri memberi tepuk tangan.
Rani menangis saat itu. Bukan karena sedih, tapi karena terharu: dulu, tak ada yang peduli padanya. Sekarang, ia bisa menginspirasi.
Kini, Rani bukan hanya ibu rumah tangga yang bangkit dari kemiskinan. Ia adalah bukti nyata bahwa perempuan, meski dari kampung dan tanpa modal besar, bisa sukses asalkan mau belajar, berani mencoba, dan tak menyerah pada keadaan.
Ia masih hidup sederhana. Rumahnya belum mewah, dan ia tetap masak sendiri di dapur kecilnya. Tapi hatinya kini penuh syukur, bukan kesedihan. Ia tahu betul rasanya lapar, rasanya kecewa, rasanya nyaris menyerah. Dan karena itu pula, ia tak pernah sombong saat mulai berhasil.
Setiap malam, sebelum tidur, Rani selalu berdoa:
“Ya Allah… terima kasih. Bukan karena aku hebat, tapi karena Engkau kuatkan aku di saat aku hampir menyerah. Tolong bimbing aku terus, agar suksesku bisa membawa manfaat bagi banyak orang.”
Dan esoknya, ia kembali bangun… bukan lagi sebagai wanita yang lelah karena miskin,
Tapi sebagai wanita yang tangguh karena sudah melawan semua rasa lelah dan menang.
Waktu terus berjalan. Anak-anak Rani tumbuh menjadi anak-anak yang penuh semangat dan tahu arti kerja keras. Mereka melihat langsung bagaimana ibunya berjuang dari nol, bukan dengan keluhan, tapi dengan ketekunan dan doa.
Suatu pagi, anak sulungnya, Dika, menghampirinya dan berkata,
"Bu, nanti kalau aku sudah sukses, aku pengin bangun pabrik sabun buat Ibu. Biar sabun ‘Bersih dari Hati’ jadi besar, kayak sabun-sabun di TV.”
Mata Rani langsung berkaca-kaca. Bukan karena janji itu, tapi karena anaknya kini ikut bermimpi sesuatu yang dulu bahkan tidak berani ia lakukan.
Rani tahu, kesuksesan bukan hanya tentang uang atau jumlah pesanan. Kesuksesan sejatinya adalah ketika luka dan lelah masa lalu berubah jadi kekuatan untuk terus maju. Ketika keputusasaan berubah menjadi inspirasi bagi orang lain.
Hari-hari Rani kini dipenuhi kegiatan produktif. Ia membuka pelatihan sabun untuk ibu-ibu rumah tangga di sekitar kampungnya. Ia ajarkan cara membuat, mengemas, dan memasarkan. Banyak ibu-ibu yang dulu hanya diam di rumah, kini mulai punya penghasilan sendiri. Mereka memanggilnya dengan sebutan hormat, “Bu Rani, mentor kita.”
Sementara itu, Rani juga terus belajar. Ia ikut pelatihan daring tentang keuangan UMKM, belajar branding, hingga akhirnya bisa punya label dan logo resmi. Sabun “Bersih dari Hati” kini memiliki varian aroma, sertifikasi halal, dan kemasan ramah lingkungan. Bahkan ia sudah mengirim pesanan ke luar kota.
Suatu ketika, Rani diundang ke acara TV lokal. Ia diminta berbagi kisah tentang perjuangan dari kemiskinan menuju wirausaha mandiri. Duduk di kursi narasumber, mengenakan jilbab rapi dan senyum yang penuh kehangatan, Rani tampak seperti wanita sukses di luar sana. Tapi dalam hatinya, ia tetaplah Rani yang dulu yang tahu betul bagaimana rasanya ditolak, gagal, dan hampir menyerah.
Dan ketika pembawa acara bertanya,
"Apa pesan Ibu untuk perempuan lain yang sedang berada di titik terendah hidupnya?"
Rani menjawab dengan suara tenang tapi penuh makna:
“Jangan malu jadi miskin. Tapi jangan pasrah selamanya. Kalau kita terus berdoa, terus bergerak, terus belajar… lambat laun, Allah akan bukakan jalan. Kuncinya: jangan berhenti walau lelah, karena kadang keajaiban datang saat kita nyaris menyerah.”
Hari itu, banyak mata yang menangis karena kata-kata Rani.
Dan kisahnya belum selesai.
Karena Rani masih berjalan. Masih menebar manfaat. Masih menjaga sabun “Bersih dari Hati” tetap beraroma… bukan hanya harum, tapi juga penuh harapan.
Tahun berganti. Rani yang dulu hanya dikenal sebagai “penjual gorengan,” kini telah menjelma menjadi simbol harapan. Produk sabunnya bukan hanya laku di kampung, tapi mulai menembus pasar kota. Ia rutin mengisi pelatihan untuk ibu-ibu di desa lain, bahkan diminta jadi narasumber dalam seminar UMKM perempuan tingkat provinsi.
Nama “Bersih dari Hati” kini tak asing lagi di kalangan pegiat wirausaha lokal. Sabunnya tampil di rak-rak minimarket kecil dan toko oleh-oleh. Rani tak pernah membayangkan, sabun yang dulu ia buat dari dapur mungil dan air mata, kini jadi produk unggulan daerah.
Namun di tengah kesibukan, ia tak lupa pada akarnya. Rani tetap tinggal di kampung, tetap menyapa tetangga, tetap melayani pembeli dengan senyum tulus. Ia menolak pindah ke kota besar meski beberapa investor pernah menawarkannya.
“Aku ingin tetap di sini, di tempat aku pernah jatuh dan bangkit. Agar setiap pagi, aku bisa mengingat siapa diriku dan dari mana aku berjuang.”
Anaknya yang sulung, Dika, kini duduk di bangku kuliah jurusan teknik industri. Ia kuliah dengan beasiswa penuh, dan di sela waktunya membantu ibunya mengembangkan sistem produksi dan distribusi sabun secara digital. Anak kedua, Salsa, punya minat di desain grafis dan menciptakan label kemasan baru yang lebih modern dan menarik.
Kini usaha Rani sudah berbentuk koperasi kecil yang mempekerjakan lebih dari 20 ibu rumah tangga. Ia tak hanya memberdayakan, tapi juga mengangkat martabat para ibu yang dulu tak punya penghasilan. Ia selalu berkata:
“Dulu aku hidup miskin, bukan hanya secara materi, tapi juga secara harapan. Sekarang aku ingin jadi jalan agar perempuan lain tak perlu merasa sekecil aku dulu.”
Satu hari, dalam sebuah penghargaan nasional yang diadakan oleh kementerian koperasi dan UKM, Rani berdiri di atas panggung, menerima piala bertuliskan "Pengusaha Inspiratif Tahun Ini." Dengan mata berkaca-kaca, ia memeluk piala itu erat-erat.
Di hadapan para pejabat, pengusaha sukses, dan tamu undangan, Rani mengakhiri pidatonya dengan satu kalimat sederhana:
“Saya bukan orang pintar, bukan orang kaya, dan bukan siapa-siapa. Saya hanya ibu yang dulu sangat lelah... tapi saya tidak berhenti.”
Tepuk tangan pun menggema di seluruh ruangan.
Dan begitulah…
Rani yang dulu menangis dalam gelap karena lapar, kini berdiri menjadi cahaya bagi banyak perempuan lain. Kisahnya bukan hanya tentang sabun, tapi tentang harapan, ketekunan, dan iman yang tak goyah meski diuji berkali-kali.
Karena sesungguhnya, orang yang paling kuat bukan yang tak pernah jatuh…
Tapi mereka yang tetap memilih bangkit meski sangat lelah.
Setelah menerima penghargaan nasional, nama Rani semakin dikenal. Banyak media menulis tentangnya:
"Ibu Rumah Tangga yang Bangkit dari Kemiskinan",
"Dari Sabun Buatan Tangan ke Produk UMKM Nasional",
"Rani: Perempuan Tangguh Penggerak Ekonomi Desa."
Namun di tengah sorotan itu, Rani tetap bersahaja. Setiap kali diwawancarai, ia selalu berkata:
"Saya ini cuma rakyat biasa. Kalau saya bisa, ibu-ibu lain pun bisa."
Rani tidak silau dengan popularitas. Ia tidak lupa rasa sakit di masa lalu. Justru rasa sakit itulah yang membuatnya tetap rendah hati dan tidak pernah lelah menolong. Ia mendirikan “Rumah Harapan Rani” sebuah tempat pelatihan gratis untuk perempuan yang ingin belajar keterampilan, seperti membuat sabun, menjahit, memasak, dan pemasaran online.
Ia mengumpulkan relawan dan mendatangkan mentor-mentor yang dulunya juga mantan peserta pelatihan. Tempat itu bukan hanya jadi pusat pelatihan, tapi juga tempat curhat, tempat perempuan bangkit dari luka, tempat orang belajar percaya lagi pada dirinya sendiri.
Suatu hari, seorang janda muda datang padanya sambil menangis, berkata,
"Bu… saya hampir menyerah hidup. Tapi waktu lihat kisah Ibu di TV, saya merasa... mungkin saya juga bisa bangkit."
Rani memeluk perempuan itu. Ia tahu betul rasa itu. Rasa putus asa. Rasa tak dihargai. Rasa menjadi beban. Tapi ia juga tahu satu hal: harapan bisa hidup kembali, kalau diberi ruang dan keyakinan.
Rani semakin banyak mendapat undangan seminar, bahkan diajak menjadi pembicara dalam konferensi internasional perempuan wirausaha. Tapi sebelum berangkat ke Jakarta, ia selalu mampir dulu ke dapurnya, mencium tangan para ibu-ibu yang masih setia membantu produksi sabun.
“Kalian semua bagian dari kisah ini,” ucapnya.
“Saya tidak bisa sampai sejauh ini tanpa kalian.”
Di usia 43 tahun, Rani bukan hanya jadi pengusaha sukses, tapi juga ibu yang berhasil mengubah jalan hidup anak-anaknya. Mereka tumbuh jadi pribadi tangguh, penuh empati, dan tidak takut bekerja keras.
Saat malam hari, Rani kadang duduk di beranda rumah barunya. Rumah sederhana tapi bersih, dengan taman kecil yang dulu hanya ada di impiannya. Ia menatap langit malam, lalu berbisik:
“Dulu aku lelah dan ingin menyerah. Tapi Tuhan tak pernah benar-benar membiarkanku sendiri.”
Lalu ia tersenyum…
Sebab ia tahu, meski awal hidupnya gelap dan berat, ia telah menang. Bukan karena kaya raya. Tapi karena ia kini jadi pelita bagi banyak hati yang pernah gelap sepertinya.
Beberapa bulan kemudian, Rani mendirikan yayasan. Namanya: Yayasan Lelah Tapi Tak Menyerah.
Misi utamanya: membantu perempuan miskin agar bisa mandiri. Bukan dengan bantuan sesaat, tapi dengan pendidikan keterampilan, pembinaan mental, dan jaringan pemasaran.
Setiap perempuan yang datang ke yayasannya diajak berbicara hati ke hati. Tidak langsung diajari keterampilan, tapi diajak sembuh dari luka batin. Rani tahu, banyak perempuan yang tidak miskin secara materi… tapi miskin harapan.
Rani tak ingin hanya menciptakan produk. Ia ingin menciptakan perubahan.
Dan ketika suatu malam, di pelatihan mingguan, seorang ibu muda berkata,
"Bu Rani, saya dulu ingin bunuh diri. Tapi sekarang saya ingin hidup lagi. Terima kasih…”
Rani menahan air mata. Ia tahu, inilah inti dari semua yang ia perjuangkan.
Bukan tepuk tangan, bukan panggung… tapi nyawa yang kembali hidup karena ia tidak pernah menyerah dulu.
Di usia 50 tahun, Rani sudah menulis buku, diundang ke berbagai negara, dan menjadi ikon perempuan tangguh. Tapi bagi dirinya sendiri, keberhasilan terbesar adalah ketika ia bisa duduk di beranda, dikelilingi anak-anak dan cucu, lalu berkata dalam hati:
“Aku tidak lagi miskin. Karena aku telah memiliki cinta, harapan, dan kekuatan yang tak pernah bisa dibeli.”
Rani… wanita yang dulu sangat lelah…
Kini jadi cahaya bagi ribuan hati yang nyaris padam.
Sebelum semua pujian, sebelum sabun “Bersih dari Hati” dikenal orang…
Rani adalah wanita biasa, sangat biasa. Hidup di rumah petak sempit berlantai tanah, berjuang setiap hari agar anak-anaknya bisa makan tiga kali sehari.
Setiap pagi ia bangun dengan tubuh pegal dan mata sembab. Tapi tetap memaksakan diri memasak gorengan dan menyiapkannya di ember plastik kecil untuk dibawa ke pasar. Di perjalanan ia sering berpikir, “Sampai kapan aku begini?”
Hidup terasa seperti lingkaran yang tak pernah berakhir kerja, lelah, pas-pasan, gagal, lalu ulang lagi. Pernah ia mencoba pinjam uang ke koperasi agar bisa buka warung. Tapi pelanggan tak banyak, dan utang tetap menumpuk. Ia merasa gagal sebagai ibu, sebagai istri, bahkan sebagai manusia.
Malam hari, ia sering menahan tangis di dapur sambil mencuci piring. Ia tak ingin anak-anak melihat air matanya. Tapi saat sendiri, ia hancur.
“Ya Allah… apakah aku ditakdirkan hanya untuk menderita?”
“Apa aku tidak pantas punya hidup yang lebih baik?”
Suaminya pun hanya bisa membantu seadanya. Ia bukan pemalas, tapi sulitnya pekerjaan di kampung membuat mereka sering terjebak dalam kondisi bertahan hidup, bukan bertumbuh.
Namun, satu hal yang tak pernah Rani hilangkan: doa.
Ia tidak selalu bisa sholat dengan khusyuk, tapi ia selalu berdoa dengan air mata.
Ia tidak punya teman untuk mengeluh, maka Tuhan menjadi satu-satunya tempat ia bercerita.
Sampai suatu hari…
Di pasar, seorang ibu tua membelinya satu gorengan sambil berkata:
“Kamu orang baik, Nak. Saya doakan suatu hari kamu jadi orang besar ya… tapi tetap rendah hati.”
Itu kalimat sederhana. Tapi bagi Rani, terasa seperti pelukan hangat di tengah hujan badai. Dan dari situlah, perlahan tapi pasti, langkah Rani mulai berubah. Dari hanya bertahan hidup… menjadi berjuang untuk hidup yang lebih baik.
Tiga tahun sejak pertama kali Rani membuat sabun di dapur kecilnya, kini rumah produksinya telah berubah menjadi rumah usaha komunitas. Sebuah bangunan sederhana tapi luas, yang dibeli dari hasil keuntungan bersih bukan dari utang.
Di dalamnya, puluhan ibu rumah tangga bekerja bergantian. Ada yang bagian pencampuran bahan, ada yang bagian cetak dan potong, ada yang mengurus kemasan, dan ada pula tim online yang melayani pesanan dari marketplace. Mereka semua adalah wanita-wanita tangguh seperti Rani dulunya pernah tersingkir, pernah diremehkan, tapi kini bangkit.
Sabun “Bersih dari Hati” kini memiliki empat varian:
1. Herbal Klasik (campuran daun sirih dan serai)
2. Stroberi Ceria (untuk anak-anak, kemasan bergambar lucu buatan Salsa)
3. Kopi Lulur Alami (sabun lulur untuk perawatan kulit)
4. Jeruk Nipis Wangi Dapur (sabun cuci piring ramah lingkungan)
Produknya tak hanya dijual secara online, tapi juga telah masuk ke beberapa toko ritel lokal dan koperasi daerah. Bahkan, Rani pernah mendapat pesanan dari instansi pemerintah untuk dibuatkan 1.000 paket sabun untuk program pemberdayaan perempuan.
Itu adalah momen haru yang tak terlupakan.
Saat truk pengangkut datang ke rumah produksi dan ibu-ibu berdiri berjajar mengangkut dus-dus sabun dengan seragam sederhana, mata Rani basah. Bukan karena beban kerja, tapi karena rasa syukur.
“Dulu aku bahkan gak bisa beli sabun sendiri… sekarang aku bisa bantu banyak orang hidup dari sabun ini,” bisiknya lirih.
Nama Rani kini dikenal sebagai tokoh perempuan inspiratif di tingkat provinsi. Ia sering diundang berbicara di seminar, talkshow TV lokal, bahkan jadi pembicara utama dalam acara pemberdayaan nasional.Tapi satu hal yang tidak pernah berubah:
Rani tetap Rani.
Ia tetap menyapa para ibu di pabrik dengan nama. Ia tetap memasak sendiri saat libur produksi. Ia tetap menyambut pelanggan yang datang langsung ke rumahnya dengan teh hangat dan senyum tulus.
Dan ia selalu berkata kepada siapa pun yang datang belajar darinya:
“Saya ini bukan orang pintar, bukan sarjana. Tapi saya belajar dari rasa lapar, dari tangisan diam-diam, dan dari keinginan untuk berubah. Kuncinya cuma satu: jangan berhenti walau capek.”
Kini, usaha sabun Rani sudah bertransformasi menjadi CV Bersih dari Hati, dengan anaknya, Dika, sebagai manajer pengembangan usaha dan Salsa menjadi bagian tim kreatif. Bahkan suaminya kini ikut aktif sebagai kepala logistik.
Mereka bukan keluarga yang kaya raya. Tapi mereka adalah keluarga yang penuh makna. Mereka berhasil membangun sesuatu dari nol, dari debu dapur dan semangat yang nyaris padam.
Dan Rani?
Ia sudah menjadi simbol perubahan. Di kampungnya, di provinsinya, bahkan bagi siapa pun yang membaca kisahnya.
Ia adalah bukti bahwa perempuan miskin bisa menjadi pemimpin perubahan,
bahwa usaha kecil bisa tumbuh besar dengan cinta dan keberanian,
dan bahwa kesuksesan sejati dimulai saat seseorang memilih untuk tidak menyerah, walau sangat lelah.
“Aku bukan siapa-siapa,” kata Rani suatu hari,
“Tapi aku ingin jadi seseorang… yang membuat banyak perempuan percaya, bahwa mereka pun bisa.”
Setelah semua pencapaian, Rani tak pernah benar-benar menganggap dirinya telah “sukses penuh”. Baginya, kesuksesan bukan saat omzet tinggi atau saat tampil di televisi. Tapi saat ia melihat satu demi satu perempuan di sekelilingnya bangkit, mandiri, dan menemukan kembali harga dirinya.
Suatu hari, seorang ibu muda datang padanya setelah pelatihan sabun dan berkata dengan mata berkaca-kaca:
“Bu Rani… saya dulu takut hidup. Saya merasa tidak berguna. Tapi setelah lihat Ibu… saya pengin coba berdiri lagi.”
Rani hanya tersenyum sambil menggenggam tangan ibu itu. Karena ia tahu persis rasa itu. Ia pernah hancur. Ia pernah lelah. Pernah merasa dunia tak adil. Tapi ia tak tinggal di sana. Ia berjalan keluar, perlahan… dan kini ia membuka pintu bagi yang lain untuk ikut keluar juga.
Lima tahun setelah usaha sabunnya berdiri…
Rani dan keluarganya tidak tinggal di rumah lama lagi. Mereka pindah ke rumah yang lebih luas, tapi tidak mewah. Ia tetap menanam cabai di belakang rumah, tetap merebus air sendiri untuk tamu, tetap mencuci baju dengan tangannya sendiri saat tak sibuk.
Di ruang tengah rumah barunya, terpajang foto-foto:
Foto sabun pertama yang retak-retak di dapur
Foto saat ia dan para ibu tersenyum sambil mengaduk sabun
Foto saat Dika dan Salsa lulus kuliah
Foto penghargaan nasional
Dan foto kecil penuh makna: Rani memeluk ibu tua di pasar perempuan asing yang pernah mendoakannya menjadi “orang besar.”
Ternyata doa itu dikabulkan Tuhan… tapi bukan dengan cara instan.
Melainkan dengan ujian, perjuangan, air mata, dan keberanian untuk terus hidup.
Kini, setiap ada pelatihan baru, Rani selalu mengakhiri sambutannya dengan kalimat yang jadi ciri khasnya:
“Saya dulu miskin. Tapi bukan hanya miskin uang. Saya juga miskin harapan. Tapi ternyata, harapan bisa tumbuh… kalau kita punya keberanian untuk percaya lagi pada diri sendiri. Jadi… kalau hari ini kamu merasa hidupmu hancur, lelah, gagal… tenang. Kamu belum selesai. Kamu hanya sedang dibentuk. Jangan berhenti, ya.”
Dan para ibu, para gadis, para janda, para perempuan biasa… selalu menitikkan air mata saat mendengarnya. Karena mereka tahu Rani tidak sedang bicara dari podium,
tapi dari hati yang dulu pernah patah… dan kini telah pulih.
TAMAT